Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Referendum Swiss Menolak Proposal Undang-undang Pengurangan Emisi Karbon

image-gnews
Bendera Swiss terlihat saat matahari terbit di Distrik Komersial dan Keuangan di Jenewa, Swiss, 23 November 2017. [REUTERS / Denis Balibouse]
Bendera Swiss terlihat saat matahari terbit di Distrik Komersial dan Keuangan di Jenewa, Swiss, 23 November 2017. [REUTERS / Denis Balibouse]
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Pemilih referendum Swiss menolak tiga proposal lingkungan pada hari Minggu, termasuk undang-undang baru yang dimaksudkan untuk membantu Swiss memenuhi target mengurangi emisi karbon di bawah Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim.

Undang-undang CO2 baru ditolak melalui suara tipis, dengan 51,6% pemilih menentangnya dalam referendum nasional yang dilakukan di bawah sistem demokrasi langsung Swiss, menurut laporan Reuters, 14 Juni 2021.

Sistem demokrasi langsung Swiss memberikan rakyatnya memilih langsung pada draf rencana undang-undang yang diusulkan, melalui regional (kanton) dan nasional.

Alhasil, referendum nasional ini berarti kekalahan bagi pemerintah Swiss yang mendukung undang-undang baru yang mencakup langkah-langkah seperti meningkatkan biaya tambahan bahan bakar mobil dan mengenakan retribusi pada tiket penerbangan.

Penolakan itu berarti bahwa sekarang akan sulit bagi Swiss untuk mencapai target tahun 2030 untuk mengurangi emisi karbon hingga setengah dari tingkat tahun 1990 dan menjadi netral karbon pada tahun 2050, kata Menteri Lingkungan Hidup Simonetta Sommaruga.

"'Tidak' hari ini bukanlah tidak untuk perlindungan iklim, ini adalah 'tidak' untuk undang-undang yang telah kami pilih," kata Sommaruga.

"Perdebatan dalam beberapa minggu terakhir telah menunjukkan bahwa banyak orang ingin memperkuat perlindungan iklim tetapi tidak dengan undang-undang ini," katanya.

Pemerintah Swiss sekarang akan berusaha untuk memperluas langkah-langkah yang tidak kontroversial seperti kewajiban bagi importir bahan bakar untuk berinvestasi dalam proyek perlindungan iklim, dan berusaha untuk membentuk konsensus baru dengan penduduk tentang kebijakan iklim, katanya.

Proposal lain yang ditolak oleh referendum adalah proposal yang akan membuat Swiss menjadi negara kedua di dunia yang langsung melarang pestisida buatan, dan proposal lain untuk mengurangi penggunaannya dengan mengalihkan subsidi kepada petani yang tidak lagi menggunakan bahan kimia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pendukung proposal berpendapat bahwa pestisida terkait dengan risiko kesehatan, sementara penentang mengklaim larangan pestisida akan menyebabkan makanan lebih mahal, kehilangan pekerjaan untuk industri pengolahan makanan Swiss, dan ketergantungan yang lebih besar pada impor.

Antoinette Gilson, salah satu penulis inisiatif pestisida buatan, mengatakan hasil itu tidak berarti Swiss tidak peduli dengan lingkungan, tetapi lebih khawatir tentang masalah langsung saat ini.

"Orang-orang merasa sangat sulit untuk memikirkan masalah di masa depan, dan tidak melihat urgensi dari masalah ini," katanya. "Ketika mereka mengalami masa sulit selama pandemi COVID-19, mereka lebih memikirkan kekhawatiran langsung."

Produsen bahan kimia pertanian Syngenta dan Bayer menyambut baik hasil referendum.

"Ini adalah suara yang jelas untuk pertanian yang produktif dan efisien sumber daya," kata Bayer.

Referendum Swiss terpisah untuk mendukung undang-undang sementara yang memberikan dukungan keuangan untuk bisnis selama pandemi Covid-19 dan undang-undang untuk memberikan kekuatan ekstra kepada polisi untuk mengatasi terorisme, keduanya disetujui oleh masing-masing 60% dan 57% pemilih Swiss.

Baca juga: Mengenal Sistem Demokrasi Langsung ala Swiss

REUTERS

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Mengenal Tumbuhan Indigofera, Alternatif Biomassa yang Ramah Lingkungan dan Punya NIlai Jual

14 jam lalu

Tanaman indigofera adalah salah satu tanaman yang memiliki protein kasar biomassa yang tinggi, di Desa Gimbang, Gunung Kidul, Yogyakarta, 24 Desember 2023. Sehingga indigofera bisa di manfaatkan residunya atau serbuk kayunya menjadi menjadi sumber energi terbarukan, dan mendukung program co-fairing biomassa bagi pembangkit listrik milik PLN. Tempo/Jati Mahatmaji
Mengenal Tumbuhan Indigofera, Alternatif Biomassa yang Ramah Lingkungan dan Punya NIlai Jual

Saat ini mengganti sebagian bahan bakar batu bara dengan biomassa sangat potensial diterapkan di Indonesia, salah satunya menggunakan indigofera.


6 Fakta Menarik Tumbuhan Indigofera, Bahan Biomassa Penyerap Polutan

16 jam lalu

Deretan pepohonan tanaman indigofera yang ditanam PLN, Pengprov Yogyakarta, dan warga masyarakat di Desa Gombang, Gunung Kidul, Yogyakarta, 24 Desember 2023. Indogofera yang tahan terhadap lahan tandus dan kering, juga merupakan sumber energi terbarukan pengganti batu bara bagi PLTU PLN guna mendukung Net Zero Emission berbasis keterlibatan masyarakat. Tempo/Jati Mahatmaji
6 Fakta Menarik Tumbuhan Indigofera, Bahan Biomassa Penyerap Polutan

Tanaman indigofera digunakan sebagai alternatif biomassa yang lebih ramah lingkungan, berikut fakta-fakta unik indigofera


Hadapi Perubahan Iklim Global, BMKG Targetkan Cetak 500 Doktor Muda Hingga 2030

1 hari lalu

Pegawai BMKG menunjukkan bagan prediksi cuaca di Kantor BMKG Jakarta, Selasa 7 Januari 2020. (ANTARA/Katriana)
Hadapi Perubahan Iklim Global, BMKG Targetkan Cetak 500 Doktor Muda Hingga 2030

BMKG akan mencetak 500 doktor muda Indonesia sebelum 2030 dalam rangka menghadapi tantangan perubahan iklim global.


Alasan Work From Anywhere Makin Digandrungi Gen Z

2 hari lalu

Ilustrasi wanita bekerja di rumah. shutterstock.com
Alasan Work From Anywhere Makin Digandrungi Gen Z

Ada beragam alasan work from anywhere semakin digandrungi, mulai dari aspek kesehatan mental hingga aspek lingkungan.


Polisi Swiss Tangkap Sejumlah Orang setelah Kapsul Bunuh Diri Pertama Kali Digunakan

4 hari lalu

Mesin Sarco, kapsul cetak 3D yang memberi pengguna kendali tertinggi atas waktu kematiannya dan yang dibuat oleh advokat euthanasia Australia Philip Nitschke, selama presentasi oleh The Last Resort di Zurich, Swiss, 17 Juli 2024. REUTERS/Denis Balibouse
Polisi Swiss Tangkap Sejumlah Orang setelah Kapsul Bunuh Diri Pertama Kali Digunakan

Polisi Swiss mengatakan pada Selasa menangkap beberapa orang setelah seorang wanita AS menggunakan kapsul atau ruang khusus untuk bunuh diri


Mengenal Hidrogeologi, Bidang Ilmu yang Akan Digeluti Basuki Hadimuljono Usai Pensiun Jadi Menteri

5 hari lalu

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono usai Rapat Kerja Evaluasi APBN Pelaksanaan Anggaran Tahun 2024 sampai Mei 2024 di ruang Komisi V DPR, Senayan pada Kamis, 6 Juni 2024. Tempo/Bagus Pribadi
Mengenal Hidrogeologi, Bidang Ilmu yang Akan Digeluti Basuki Hadimuljono Usai Pensiun Jadi Menteri

Setelah pensiun Basuki Hadimuljono akan menggeluti hidrogeologi


Climate Innovation Week, Ajak Anak Muda Ikut Lestarikan Lingkungan

6 hari lalu

Ilustrasi pengusaha pemula. Foto: Freepik.com/tirachardz
Climate Innovation Week, Ajak Anak Muda Ikut Lestarikan Lingkungan

Anak muda diminta melihat peluang untuk memunculkan inovasi dan solusi permasalahan iklim di tengah masyarakat


Signify Tambahkan IoT di Lampu LED Ultraefisien, Klaim Energi Makin Efisien

9 hari lalu

Ilustrasi lampu LED Signify. Signify.com
Signify Tambahkan IoT di Lampu LED Ultraefisien, Klaim Energi Makin Efisien

Lampu LED didukung chip yang dikembangkan langsung oleh Signify dengan klaim efikasi hingga 210 lumens perwatt.


7 Peneliti Undip Masuk Daftar 2 Persen Ilmuwan Teratas di Seluruh Dunia yang Dirilis Stanford-Elsevier

9 hari lalu

Tujuh ilmuwan dari UNDIP berhasil masuk dalam daftar 2% Ilmuwan Teratas di Seluruh Dunia untuk tahun 2024 yang disusun oleh Universitas Stanford. Dok. UNDIP
7 Peneliti Undip Masuk Daftar 2 Persen Ilmuwan Teratas di Seluruh Dunia yang Dirilis Stanford-Elsevier

Tujuh ilmuwan Undip masuk dalam daftar 2 persen ilmuwan teratas di seluruh dunia 2024 yang dirilis Universitas Stanford dan Elsevier.


Di Tengah Perubahan Iklim, Bulog Sebut Metode Pertanian dan Distribusi Tradisional Tak Lagi Memadai

9 hari lalu

Petani menanam padi di area persawahan kering yang dialiri air memakai mesin pompa di kawasan Babelan, Bekasi, Jawa Barat, Selasa, 5 September 2023. BMKG memprediksi sejumlah wilayah Indonesia bakal berstatus waspada kekeringan sampai dengan November karena dipengaruhi oleh fenomene El Nino. TEMPO/Tony Hartawan
Di Tengah Perubahan Iklim, Bulog Sebut Metode Pertanian dan Distribusi Tradisional Tak Lagi Memadai

Direktur Bulog mengatakan ada kebutuhan mendesak untuk menyikapi produksi beras di tengah perubahan iklim.