TEMPO.CO, Jakarta - Masalah penggusuran paksa warga Palestina oleh Israel masih jauh dari usai di Yerusalem Timur. Setelah isu Sheikh Jarrah, yang memicu pertempuran selama sebelas hari, sekarang ada isu Silwan. Dikutip dari kantor berita Al Jazeera, ada ratusan keluarga yang terancam terusir dari sana dan berakhir tanpa tempat tinggal.
Dua di antara keluarga itu adalah Keluarga Ghaith dan Abu Nab. Status keduanya tengah terkatung-katung karena Pengadilan Israel menunda sidang sengketa mereka. Dari aslinya Kamis kemarin, 10 Juni 2021, sidang ditunda ke 7 Agustus 2021. Padahal, posisi mereka terancam karena organisasi pendudukan Israel bisa sewaktu-waktu menggusur.
Apa yang dialami keluarga Ghaith dan Abu Nab bukan yang pertama. Bulan lalu, Pengadilan Israel mengambil langkah serupa. Mereka menunda putusan perkara sengketa yang diajukan oleh tujuh keluarga Palestina asal Silwan. Status mereka masih tak jelas hingga sekarang.
Grassroot Jerusalem, lembaga non pemerintah asal Palestina, menyebut hal itu sebagai bagian dari strategi Israel untuk mengusir paksa warga. Mereka mengulur waktu agar organisasi pendudukan bisa agresif menggusur warga dari Silwan. Bagian lainnya adalah dengan memerintahkan penghancuran bangunan di Silwan dan sekitarnya.
"Kurang lebih 1500 orang terdampak di Silwan. Mereka diberi waktu 21 hari untuk evakuasi dan menghancurkan rumah. Jika tidak, maka pembongkaran akan dilakukan pemerintah setempat dengan dana ditanggung keluarga," ujar Grassroots Jerusalem.
Shei
Menurut data Grassroots Jerusalem, sejak 2005, warga yang tinggal di Silwan sudah menerima 90an perintah untuk menghancurkan rumah. Alasannya selalu berputar di masalah rumah tak berizin. Adapun Israel berniat mengubah Silwan menjadi lokasi taman nasional dan permukiman.
"Hukum zonasi Israel telah mengalokasikan 35 persen dari lahan konstruksi sebagai permukiman ilegal Israel," ujar organisasi HAM Palestina, Al Haq, menambahkan.
Salah satu pengacara warga di Silwan, Mohammed Daleh, melanjutkan bahwa warga Palestina tidak hanya didiskriminasi, tetapi juga memiliki ruang kecil untuk membela diri. Hukum yang ada pun, kata ia, lebih berpihak pada Israel dibanding Palestina.
Sebagai contoh, jika seorang warga Yahudi mampu membuktikan keluarganya tinggal di Yerusalem Timur sebelum pembentukan Israel tahun 1948, maka mereka bisa mengajukan pengembalian atas rumah yang hendak dihancurkan. Aturan serupa tak berlaku untuk warga Palestina di Yerusalem Timur.
"Jelas tidak adil di sini di mana Yahudi bisa mengklaim properti apapun selama mereka bisa membuktikan ada keluarga yang tinggal sebelum 1948. Sementara itu, Palestina, yang kehilangan rumah di Yerusalem, tidak bisa mengklaim balik," ujar Daleh.
Daleh berkata, jika Pengadilan Israel di hari putusan nanti mengizinkan pengusiran paksa seperti yang terjadi di Silwan, maka penghuninya bakal berakhir menjadi pengungsi.
Baca juga: Tiga Warga Palestina Tewas Oleh Pasukan Israel
ISTMAN MP | AL JAZEERA