TEMPO.CO, Jakarta - Myanmar berhadapan dengan dua musuh sekaligus dalam beberapa bulan terakhir, kudeta dan COVID-19. Sejak kudeta dilakukan pada 1 Februari lalu, respon pemerintah terhadap COVID-19 otomatis mandek. Baik pengujian maupun vaksinasi tidak terlaksana dengan baik, menimbulkan pertanyaan soal situasi pandemi sesungguhnya di Myanmar.
Berhentinya pengujian dan vaksinasi tak lepas dari berhenti bekerjanya para pekerja medis. Beberapa hari setelah kudeta dimulai, mayoritas petugas medis (dan dokter) memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai bentuk perlawanan. Angka tes COVID-19, yang penting untuk mengukur dampak pandemi, langsung anjlok dari 17 ribu per hari menjadi 1200 per hari.
Sekarang, problem yang dihadapi sistem kesehatan nasional Myanmar bukan hanya kurangnya tenaga medis saja. Kurangnya perlengkapan medis juga mengancam. Salah satu perawat yang bertahan di RS kota Cikha, Lun Za En, mengatakan rumah sakitnya tak lagi memiliki cukup oksigen, obat-obatan, ataupun listrik. Fokus semua pihak, kata ia, teralihkan ke krisis Myanmar.
"Kami tidak memiliki cukup oksigen, cukup perlengkapan medis, cukup listrik, cukup dokter, dan cukup ambulan. Dari 11 staff kami, sekarang hanya tiga yang bekerja," ujar Lun Za En, yang bekerja di kota dengan 10 ribu penduduk, dikutip dari Channel News Asia, Ahad, 30 Mei 2021.
Lun Za En melanjutkan bahwa kampanye anti-COVID-19 pun juga tenggelam akibat krisis yang terjadi. Ia tak bisa memprediksi hingga kapan situasi ini akan bertahan dan kapan para petugas medis mulai kembali bekerja.
Mahasiswa, guru, dan insinyur dari Universitas Teknologi Dawei menggelar protes terhadap kudeta militer, di Dawei, Myanmar 3 April 2021. Dawei Watch/via REUTERS
Salah seorang petugas medis yang terlibat dalam gerakan pemberontakan sipil pesimistis bakal ada warga yang terpikir untuk tes maupun vaksinasi COVID-19 di masa krisis. Ia berkata, fokus kebanyakan orang sekarang ada pada krisis dan bertahan hidup dari serangan junta.
"Kalaupun kami bekerja, kami tidak menerima pasien baru lagi karena pusat tes COVID-19 tak lagi memiliki staf untuk menguji," ujar petuhas medis yang enggan disebutkan namanya itu.
Menurut laporan WHO, kurangnya petugas tak lepas dari pembunuhan dan penangkapan selama krisis Myanmar. Mereka berkata, data terakhir menunjukkan ada 13 petugas medis yang dibunuh serta 150 orang yang ditahan. Hal tersebut belum menghitung ratusan yang menjadi buron.
"Selain itu, data menunjukkan ada 179 serangan terhadap pekerja, fasilitas, dan kendaraan medis. Angka tersebut mengcover lebih dari 50 persen total serangan terhadap petugas medis di seluruh dunia, " ujar perwakilan WHO di Myanmar, Stephan Paul Jost.
Manajer Operasi COVID-19 Federasi Internasional Palang Merah di Myanmar, Luis Sfeir-Younis, mengaku khawatir situasi di Myanmar akan membuat mereka rentan terhadap varian baru COVID-19 India. Sebab, India tak jauh dari Myanmar. "Sungguh mengkhawatirkan tes, perawatan, maupun vaksinasi di Myanmar sungguh terbatas di saat varian baru mengancam," ujarnya.
Per berita ini ditulis, Myanmar tercatat memiliki 143 ribu kasus dan 3.216 kematian. Mulai awal Februari, angka kasus yang dilaporan berada di rentang 30-100 kasus. Berbagai pihaknya menyakini angka tersebut tak representatif.
Baca juga: Pemerintah Bayangan Myanmar Selesai Latih Tentara Pemberontakannya
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA