TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Suriah Bashar al-Assad pada Rabu, 26 Mei 2021, memberikan hak suaranya dalam pemilu presiden. Jika pemilu ini dimenangkan lagi oleh Assad, maka itu akan memperpanjang kekuasaannya di Suriah yang sudah remuk karena perang.
Assad memberikan hak suaranya di sebuah TPS di bekas benteng, yang diduga tempat terjadinya serangan senjata kimia pada 2018. Serangan senjata kimia telah memicu dilakukannya serangan udara oleh beberapa negara barat.
Presiden Suriah, Bashar al-Assad, dalam sebuah wawancara eksklusif. sumber: RT.com
Pemerintah Suriah mengatakan pemilu memperlihatkan Suriah masih berfungsi dengan normal, kendati sudah hampir satu dekade di kecamuk oleh konflik yang menewaskan ratusan ribu orang dan membuat 11 juta warga Suriah mengungsi. Jumlah itu sekitar separuh dari populasi Suriah.
“Suriah bukan seperti apa yang ingin mereka jual. Satu kota melawan banyak pihak. Sekte melawan orang lain atau perang sipil. Hari ini kami membuktikan dari Douma bahwa masyarakat Suriah bersatu,” kata Presiden Assad.
Pemilu Suriah tetap dilaksanakan kendati PBB menyerukan agar pemilu diselenggarakan di bawah pengawasan internasional, yang akan membantu membuka jalan bagi sebuah konstitusi yang baru dan penyelesaian politik.
Penyelenggaraan pemilu tersebut ditolak oleh musuh-musuh Presiden Assad. Mereka menuding pemilu pada Rabu kemarin hanya untuk memuluskan Assad pada tujuh tahun lagi kekuasaan. Dengan begitu, keluarga Assad hampir enam dekade berkuasa di negara itu.
Ayah Assad, Hafez al-Assad, berkuasa di Suriah selama 30 tahun atau sampai dia meninggal pada tahun 2000. Dalam pemilu Presiden 2021, Assad berhadapan dengan mantan Wakil Kepala Kabinet Abdallah Saloum Abdallah, dan Mahmoud Ahmed Marei Ketua sebuah partai oposisi kecil di Suriah.
Baca juga: Donald Trump Pernah Ingin Mendepak Presiden Suriah
Sumber: Reuters