TEMPO.CO, Jakarta - Militer Myanmar telah memerintahkan penyedia layanan telekomunikasi dan internet untuk memasang spyware, yang bertujuan untuk menyadap komunikasi warga, jauh berbulan-bulan sebelum kudeta militer 1 Februari.
Sumber yang mengetahui langsung rencana tersebut mengatakan kepada Reuters, teknologi tersebut memberi militer kekuatan untuk mendengarkan panggilan, melihat pesan teks dan lalu lintas web termasuk email, dan melacak lokasi pengguna tanpa bantuan perusahaan telekomunikasi dan internet.
Arahan tersebut adalah bagian dari upaya besar-besaran oleh tentara untuk menyebarkan sistem pengawasan elektronik dan melakukan kontrol atas internet dengan tujuan mengawasi lawan politik, menekan protes dan memutus saluran untuk setiap perbedaan pendapat di masa depan, kata sumber, dikutip dari Reuters, 19 Mei 2021.
Pengambil keputusan di Kementerian Sipil Transportasi dan Komunikasi Myanmar yang mengirimkan perintah adalah mantan pejabat militer, menurut seorang eksekutif industri yang mengetahui secara langsung rencana tersebut, dan yang lainnya diberi pengarahan tentang masalah tersebut.
"Mereka mengeluarkan perintah itu menjelang pembentukan pemerintahan sipil, tetapi kami tahu tentara akan memiliki kendali dan diberitahu bahwa kita tidak dapat menolak," kata eksekutif yang mengetahui langsung rencana tersebut, menambahkan bahwa pejabat dari Kementerian Dalam Negeri yang dikendalikan militer juga hadir saat rapat.
Baca Juga:
Puluhan orang yang mengetahui penyadapan spyware yang digunakan di Myanmar telah diwawancarai oleh Reuters. Semua meminta untuk tidak disebutkan namanya, dengan alasan takut akan pembalasan dari junta militer.
Baik perwakilan junta maupun perwakilan politisi yang mencoba membentuk pemerintahan sipil baru belum berkomentar.
Tentara Myanmar terlihat di dalam Balai Kota di Yangon, Myanmar 1 Februari 2021. Panglima militer Myanmar, Min Aung Hlaing, mengatakan militer akan menggelar pemilu baru segera setelah menyelesaikan implementasi status darurat. REUTERS/Stringer
Dokumen anggaran dari 2019 dan 2020 untuk pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, yang tidak diungkapkan kepada publik, berisi rincian rencana pembelian US$ 4 juta untuk produk dan suku cadang spyware serta ekstraksi data canggih dan teknologi peretasan telepon. Dokumen-dokumen itu disediakan oleh kelompok aktivis Justice for Myanmar dan diverifikasi secara independen oleh Reuters.
Reuters tidak dapat memastikan sejauh mana orang-orang senior non-militer di pemerintahan Suu Kyi telah terlibat dalam perintah untuk memasang penyadap tersebut.
Usulan "penyadapan yang sah" pertama kali dilontarkan oleh otoritas Myanmar ke sektor telekomunikasi pada akhir 2019 tetapi tekanan untuk memasang teknologi semacam itu baru datang pada akhir 2020, kata beberapa sumber, menambahkan bahwa mereka diperingatkan untuk tidak membicarakan masalah ini.
Rencana penyadapan tersebut diumumkan secara publik oleh Telenor Norwegia dalam pembaruan tahunan bisnisnya di Myanmar, yang merupakan salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Myanmar dengan 18 juta pelanggan dari total 54 juta populasi Myanmar.
Telenor mengatakan dalam briefing 3 Desember dan pernyataan yang diunggah di situs webnya bahwa mereka prihatin dengan rencana otoritas Myanmar untuk penyadapan yang sah, yang dapat secara langsung mengakses setiap operator dan sistem ISP tanpa persetujuan kasus per kasus, karena Myanmar tidak memiliki hukum dan peraturan yang memadai untuk melindungi hak pelanggan atas privasi dan kebebasan berekspresi.
Selain Telenor, ada tiga perusahaan telekomunikasi lainnya di Myanmar: MPT, operator besar yang didukung negara, Mytel, usaha antara tentara Myanmar dan Viettel yang dimiliki oleh kementerian pertahanan Vietnam, dan Ooredoo milik Qatar. MPT dan Mytel sekarang di bawah kendali penuh junta, kata sumber tersebut. Ada sekitar puluhan penyedia layanan internet.
Telenor menolak menanggapi pertanyaan dari Reuters untuk artikel ini, dengan alasan masalah keamanan terhadap karyawannya.
MPT, Mytel dan Ooredoo tidak menanggapi permintaan komentar. Rumah dagang Jepang Sumitomo Corp, yang bersama dengan operator nirkabel KDDI Corp mengumumkan pada tahun 2014 rencana investasi sebesar US$ 2 miliar (Rp 28,6 triliun) di MPT, menolak berkomentar. KDDI dan Viettel tidak menanggapi permintaan komentar.
Menyadap komunikasi, melanggengkan kekuasaan