TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai upaya dilakukan Militer Myanmar untuk menekan perlawanan warga. Dikutip dari Channel News Asia, salah satu strategi terbaru mereka bukan lagi menembak demonstran di tengah unjuk rasa, tetapi menculik remaja-remaja yang menjadi pendorong perlawanan. Mereka termasuk dalam barisan 3500 orang yang diculik oleh Militer Myanmar sejak kudeta pada 1 Februari lalu.
UNICEF, lembaga perlindungan anak-anak dari PBB, membenarkan hal itu terjadi. Mereka berkata, setidaknya ada 1000 kasus di mana remaja dan anak-anak ditangkap secara sepihak atau diculik oleh Militer Myanmar. Tak berhenti di situ, UNICEF mengatakan Militer Myanmar juga tidak memberikan akses kepada keluarga ataupun pengacara untuk menemui mereka yang ditangkap.
Menurut organisasi HAM Fortify Rights, penculikan tersebut adalah teknik lama Militer Myanmar. Mereka sudah melakukannya beberapa kali untuk menebar ketakutan dan menekan gerakan perlawanan rakyat. Adapun tekniknya adalah menculik anak-anak dan remaja di malam hari, ketika mereka berada di rumah atau sedang bermain di jalanan. Beberapa berakhir meninggal, dipenjara, bahkan menghilang tanpa jejak.
"Ini sudah jelas-jelas masuk ke situasi penghilangan paksa...Kami mendokumentasikan upaya-upaya penangkapan secara sepihak yang sistematik dan luas," ujar Co-founder Fortify Rights, Matthew Smith, Kamis, 6 Mei 2021.
Asoasiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik (AAPP) menambahkan bahwa dari 3500 orang yang telah ditahan oleh Militer Myanmar, tidak sedikit yang masih berusia remaja. Dari 419 orang yang usianya diketahui, dua per tiganya berusia di bawah 30 tahun dan 78 di antaranya adalah remaja.
Baca Juga:
Orang-orang bereaksi saat mereka menghadiri pemakaman Khant Nyar Hein, mahasiswa kedokteran berusia 19 tahun yang ditembak dan dibunuh selama tindakan keras pasukan keamanan terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta di Yangon, Myanmar, 16 Maret 2021. REUTERS/Stringer
AAPP menyakini angka yang mereka miliki saat ini belum sepenuhnya representatif. Hal tersebut menimbang masif-nya penangkapan yang dilakukan oleh Militer Myanmar.
"Militer Myanmar mencoba mengubah penduduk sipil, buruh, remaja, dan anak-anak menjadi musuh. Jika mereka tidak bisa dibunuh, setidaknya upaya perlawanan mereka bisa dihentikan," ujar Sekretaris AAPP, Ko Bo Kyi.
Militer Myanmar membantah apa yang dinyatakan oleh AAPP. Mereka bahkan balik menuding AAPP sebagai organisasi yang tak berdasar sehingga data-data dari mereka tak bisa dipercaya.
"Kami tidak melakukan penangkapan berdasarkan gender atau usia tertentu. Kami hanya melakukan penangkapan terhadap mereka yang menciptakan kerusuhan, unjuk rasa, atau apapun yang berkaitan dengan hal tersebut," ujar juru bicara Militer Myanmar Aye Thazin Myint.
Kesaksian warga berkata berbeda. Seorang warga Yangon, Shwe, mengatakan adiknya yang berusia 15 tahun hilang tanpa jejak sejak Militer Myanmar melakukan operasi penangkapan. Pada suatu malam, kata ia, adiknya tak kembali ke rumah saat Militer Myanmar tiba-tiba berpatroli.
Ketika penangkapan oleh Militer Myanmar terjadi, adik dari Shwe tengah nongkrong-nongkrong di sebuah bengkel bersama teman-temannya. Shwe lari ke bengkel tersebut ketika mendengar suara tembakan dan teriakan meminta pertolongan. Setibanya Shwe di bengkel, apa yang tersisa hanyalah sandal dan jejak darah di lantai.
Baca juga: Bungkam Penentang Kudeta Militer, Junta Militer Myanmar Larang Televisi Satelit
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA