TEMPO.CO, Jakarta - Duta Besar Myanmar untuk PBB, Kyaw Moe Tun, belum puas dengan banyaknya hukuman yang diterima junta militer. Dikutip dari kantor berita Reuters, ia meminta Kongres Amerika untuk menambah jumlah sanksi ke Junta Myanmar, terutama ke bisnis-bisnis yang menopang mereka.
Menurut Kyaw Moe Tun, salah satu sasaran empuk untuk menghukum Junta Myanmar adalah perusahan migas milik negara, Myanmar Oil and Gas Enterprise (MOGE). Selain perusahaan tersebut, Kyaw Moe Tun juga menyarankan sanksi untk bank sentral Myanmar, Myanmar Foreign Trade Bank (MFTB). Ia menyakini sanksi kepada keduanya akan berdampak langsung ke operasional junta.
"Saya ingin menegaskan lagi bahwa Myanmar tidak hanya mengalami kemunduran dalam hal demokrasi, tetapi situasi di sana juga berpotensi mengancam kestabilan serta kedamaian regional," ujar Kyaw Moe Tun, dalam pertemuannya dengan Komite Hubungan Luar Negeri Parlemen AS, soal alasannya mendorong sanksi tambahan, Rabu, 5 Mei 2021.
Sebagaimana diketahui, Amerika sudah menjatuhkan berbagai sanksi ke Myanmar sebelumnya. Sanksi itu tak hanya menyasar pejabat-pejabat Militer Myanmar, tetapi juga perusahaan-perusahaan afiliasinya. Adapun dengan sanksi tersebut, mereka tidak hanya dilarang masuk ke Amerika, tetapi juga asetnya dibekukan dan tak boleh melakukan transaksi ekonomi di AS.
Pengunjuk rasa anti kudeta membakar bendera Cina di Yangon, Myanmar 5 April 2021. [REUTERS / Stringer]
Dua entitas bisnis yang telah dikenai sanksi adalah Myanmar Holdings Public Company Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation Limted (MEC). Kedua konglomerasi adalah afiliasi dari Militer Myanmar sekaligus salah satu sumber pendapatan terbesar mereka. Mereka bergerak di industri telekomunikasi, bir, rokok, ban, pertambangan, serta real estate. Tidak berlebihan mengatakan mereka mengontrol sektor strategis Myanmar.
Sektor Migas dan Perbankan tidak masuk ke dalam bisnis keduanya. Hal itulah yang membuat Kyaw Moe Tun mendesak adanya sanksi ke sana untuk meningkatkan tekanan ke junta. MOGE diketahui beroperasi di lokasi pengeboran minyak lepas laut yang dioperasikan bersama Chevron (Amerika) dan Total (Prancis). Sementara itu, MFTB mengatur transaksi dengan mata uang asing untuk Pemerintah Myanmar.
Sejak Kudeta Myanmar dimulai pada 1 Februari lalu, warga lokal sudah meminta komunitas internasional untuk tidak hanya menghukum pejabat-pejabat junta militer, tetapi juga bisnis-bisnis milik mereka. Sebab, menurut warga dan para aktivis, bisnis-bisnis itulah nadi operasi Militer Myanmar. Jika Militer Myanmar berhasil dimiskinkan, menurut mereka akan lebih mudah untuk mendesak mereka mengembalikan demokrasi.
Per berita ini ditulis, situasi di Myanmar belum sepenuhnya mereda. Asosiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik menyebut sudah ada 766 orang tewas dibunuh militer sejak kudeta dimulai. Selain itu, belum ada tanda-tanda Junta Myanmar akan mengikuti lima poin konsensus yang dihasilkan di KTT ASEAN.
Baca juga: ASEAN Perlu Jaga Momentum dan Komunikasi Perihal Krisis Myanmar
ISTMAN MP | REUTERS