TEMPO.CO, Jakarta - Mesir telah menandatangani kontrak dengan Prancis untuk membeli 30 jet tempur Dassault Rafale, kata kementerian pertahanan Mesir pada Selasa pagi.
Situs investigasi Disclose mengungkapkan pada Senin kesepakatan itu bernilai 3,75 miliar euro (Rp 65 triliun).
Presiden Emmanuel Macron mengatakan pada Desember, kalau ia tidak akan membuat penjualan senjata bersyarat ke Mesir pada hak asasi manusia karena dia tidak ingin melemahkan kemampuan Kairo untuk melawan terorisme di wilayah tersebut. Komentar Macron memicu kemarahan para kritikus.
Kementerian pertahanan Mesir mengatakan kesepakatan itu akan dibiayai melalui pinjaman yang akan dibayar kembali selama setidaknya 10 tahun, tetapi tidak mengungkapkan nilai kesepakatan atau rincian lebih lanjut, dikutip dari Reuters, 4 Mei 2021.
Mengutip dokumen rahasia, Disclose mengatakan kesepakatan telah disepakati pada akhir April dan kesepakatan dapat disegel pada Selasa ketika delegasi Mesir tiba di Paris.
Kesepakatan ini akan menjadi dorongan lebih lanjut untuk pesawat perang buatan Dassault setelah kesepakatan 2,5 miliar euro (Rp 43,3 triliun) diselesaikan pada Januari untuk penjualan 18 Dassault Rafale ke Yunani.
Kesepakatan Mesir juga dilaporkan mencakup kontrak untuk penyedia rudal MBDA dan penyedia peralatan Safran Electronics & Defense yang bernilai 200 juta euro (Rp 3,5 triliun) tambahan.
Disclose mengatakan pembiayaan untuk kesepakatan itu akan sampai 85% dijamin oleh negara Prancis dengan BNP Paribas SA, Credit Agricole, Societe Generale dan CIC, yang mendanai kesepakatan awal, mendaftar lagi. Bank-bank tidak dapat segera dihubungi untuk dimintai komentar oleh Reuters.
Kementerian keuangan, luar negeri, dan angkatan bersenjata Prancis belum berkomentar terkait kesepakatan dengan Mesir.
Dalam konfigurasi standar, Dassault Rafale dilengkapi sistem avionika (sistem sensor dan kinerja elektronika dalam keseluruhan sistem aviasi) yang dinilai cukup mumpuni. Angkatan Udara dan Laut Perancis sangat mengandalkan Rafale di berbagai misi sejak 2006 di Afghanistan hingga Libya pada 2011. Wikipedia
Benedicte Jeannerod, Direktur Human Rights Watch untuk Prancis, langsung mengecam kesepakatan jet tempur itu.
"Dengan menandatangani kontrak mega-senjata dengan (Presiden Mesir Abdel Fattah al-) pemerintah Sisi sementara yang terakhir memimpin penindasan terburuk dalam beberapa dekade di Mesir, pemberantasan komunitas hak asasi manusia di negara itu, dan melakukan pelanggaran yang sangat serius di bawah dalih perang melawan terorisme, Prancis hanya mendorong penindasan yang kejam ini," kata Jeannerod.
Prihatin dengan kekosongan politik di Libya, ketidakstabilan di seluruh kawasan, dan ancaman dari kelompok-kelompok jihadis di Mesir, kedua negara telah memupuk hubungan ekonomi dan militer yang lebih erat sejak Sisi naik ke tampuk kekuasaan.
Organisasi hak asasi menuduh Macron menutup mata terhadap apa yang mereka katakan meningkatkan pelanggaran kebebasan oleh pemerintah Sisi.
Pejabat Prancis menolak tuduhan ini dan mengatakan Prancis mengikuti kebijakan untuk tidak mengkritik negara secara terbuka atas hak asasi manusia agar lebih efektif secara pribadi atas dasar kasus per kasus.
Prancis adalah pemasok senjata utama ke Mesir antara 2013-2017, termasuk penjualan 24 pesawat tempur dengan opsi 12 tambahan. Kontrak-kontrak itu menguap begitu saja, termasuk kesepakatan untuk lebih banyak jet Dassault Rafale dan kapal perang yang telah berada pada tahap lanjutan.
Para diplomat mengatakan bahwa hal itu berkaitan dengan masalah pembiayaan karena kekhawatiran tentang kemampuan jangka panjang Mesir untuk membayar kembali pinjaman yang dijamin oleh negara, daripada kekhawatiran Prancis terhadap situasi hak asasi manusia di Mesir.
Baca juga: Indonesia Ingin Borong 48 Jet Tempur Rafale
REUTERS