TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama prihatin dengan kondisi di Myanmar. Obama menyebut kekerasan yang terjadi di Myanmar membuatnya patah hati karena digunakan untuk melawan warga silip setelah adanya perebutan kekuasaan melalui sebuah kudeta.
“Militer yang tidak sah dan brutal berusaha memaksakan keinginannya setelah satu dekade meluasnya kebebasan. Hal ini jelas tidak akan pernah bisa diterima oleh masyarakat dan seharusnya tidak diterima pula oleh dunia secara luas,” kata Obama dalam unggahannya di Twitter, Senin, 26 April 2021.
Pengunjuk rasa anti-kudeta militer membuat barikade saat mereka terlibat bentrok dengan pasukan keamanan di Jembatan Bayint Naung di Mayangone, Yangon, Myanmar, 16 Maret 2021. Hingga kini sudah sekitar 200 demonstran yang tewas akibat kekerasan dari militer Myanmar. REUTERS/Stringer
Obama menyatakan dia mendukung Pemerintah Joe Biden dan negara-negara lain yang punya fikiran sama dengan Amerika Serikat, untuk membuat para Jenderal di Myanmar membayar apa yang telah mereka perbuat.
“Negara-negara tetangga Myanmar harus mengakui bahwa rezim yang ditolak oleh masyarakat Myanmar hanya akan membawa instabilitas yang lebih besar, krisis kemanusiaan dan risiko terjadinya sebuah negara gagal,” kata Obama.
Baca Juga:
Obama pun mendesak mereka yang ada di Myanmar, yang ingin mewujdukan demokrasi di Myanmar, agar terus menjalin solidaritas antar kelompok-kelompok etnis dan agama.
“Ini adalah masa-masa terburuk, namun saya tersentuh oleh persatuan, ketahanan dan komitmen pada nilai-nilai demokratis oleh banyak masyarakat Myanmar, yang menawarkan harapan masa depan yang baik untuk Myanmar,” kata mantan Presiden Amerika Serikat itu.
Seorang aktivis mengatakan ada lebih dari 750 orang tewas sejak militer melakukan kekerasan terhadap masyarakat, yang berunjuk rasa melawan kudeta militer pada 1 Februari 2021.
Baca juga: Amerika Serikat Jatuhkan Sanksi Kepada Perusahaan Kayu dan Mutiara Myanmar
Sumber: Reuters