TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kembali mengkritik tidak meratanya distribusi vaksin COVID-19. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyampaikan bahwa mayoritas suplai vaksin COVID-19 global masih dikuasai negara-negara kaya sehingga negara-negara berkembang berakhir dengan jumlah vaksin yang minim.
Atas hal tersebut, Ghebreyesus kembali meminta negara-negara kaya dengan surplus vaksin COVID-19 untuk menyumbangkan sebagai suplainya via COVAX. Salah satunya adalah Amerika yang dikabarkan akan memiliki surplus vaksin COVID-19 hingga 600 juta dosis.
"Nyaris 900 juta dosis vaksin COVID-19 telah didistribusikan secara global. Namun, 81 persen di antaranya diterima oleh negara-negara dengan berpendapatan tinggi atau menengah ke atas. Negara-negara dengan pendapatan rendah hanya menerima 0,3 persen," ujar Ghebreyesus, dikutip dari kantor berita Reuters, Jumat, 23 April 2021.
Presiden Prancis Emmanuel Macron sepakat dengan apa yang dikatakan WHO. Ia berkata, rasio distribusi dan penggunaan vaksin COVID-19 secara global masih timpang. Di Eropa, kata ia, perbandingan jumlah warga yang sudah dan belum divaksin adalah 1:6. Sementara itu, di Afrika, ia mengatakan rasionya 1:100.
Macron menganggap hal itu tak bisa diterima. Oleh karenanya, ia mengklaim tengah mengupayakan donasi tambahan sebesar 500 ribu dosis vaksin COVID-19. Adapun vaksin yang akan dipakai bukan berasal dari AstraZeneca.
Sandra Lindsay, seorang perawat dari Long Island Jewish Medical Center saat diberikan vaksin Covid-19 Pfizer oleh Dr. Michelle Chester di New Hyde Park, New York, 14 Desember 2020. Suntikan pertama vaksinasi Covid-19 massal Amerika Serikat akan diberikan pada Senin pagi setelah Pfizer Inc dan mitranya memulai pengiriman vaksin Covid-19 ke seluruh negara bagian. Mark Lennihan/Pool via REUTERS
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mendesak perusahaan-perusahaan farmasi untuk mau mentransfer teknologi vaksin mRNA ke negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Menurutnya, hal itu akan sangat membantu untuk menyeimbangkan suplai vaksin COVID-19 yang belum merata.
"Mari kita melawan nasionalisme vaksin dan menjamin perlindungan hak cipta tidak dilakukan dengan mengorbankan nyawa manusia," ujar Ramaphosa.
Di saat bersamaan, Uni Eropa dikabarkan berhasil mengamankan pembelian suplai 1,8 miliar dosis vaksin COVID-19 dari Pfizer untuk beberapa tahun ke depan. Sejak bermasalah dengan AstraZeneca, Uni Eropa mulai mempertimbangkan pengadaan dari perusahaan farmasi lain.
Presiden Komisi Eropa, Ursula Von der Leyen, mengakui bahwa ada problem distribusi suplai vaksin COVID-19 tidak merata. Namun, ia mengklaim Uni Eropa tidak akan seperti itu dan mensinyalkan bantuan ke negara-negara miskin. "Kami membuat pilihan berbeda. Kami tahu bahwa kami perlu melawan virus ini tak hanya di rumah, tapi di seluruh benua dan negara, dari Asia hingga Afrika," ujarnya.
Per berita ini ditulis, menurut data WHO, tercatat ada 145 juta kasus dan 3 juta korban meninggal akibat COVID-19 atau virus Corona.
Baca juga: WHO Kemungkinan Keluarkan Sertifikat Untuk Vaksin Sinovac Pada 3 Mei
ISTMAN MP | REUTERS