TEMPO.CO, Jakarta - Badan regulator obat-obatan Uni Eropa (EMA) akhirnya mengizinkan vaksin COVID-19 Johnson & Johnson kembali didistribusikan. Menurut badan regulator tersebut, manfaat yang ditawarkan vaksin Johnson & Johnson melebihi resiko pembekuan darah yang membuat distribusinya sempat ditahan. Walau begitu, EMA meminta agar vaksin COVID-19 itu diberikan label peringatan bahwa ada potensi kasus pembekuan darah walau sifatnya langka.
Dikutip dari kantor berita Reuters, Johnson & Johnson menyanggupi permintaan EMA tersebut. Johnson & Johnson menyatakan telah menyiapkan kemasan dan label baru dengan catatan keterangan soal resiko pembekuan darah, cara diagnosis, serta cara penanganan. Adapun uji klinis juga sudah dimulai lagi.
"Pembekuan darah (akibat vaksin COVID-19 Johnson & Johnson) adalah kasus yang sifatnya sangat langka. Kami berharap dengan membuat masyarakat sadar akan resikonya serta memberikan panduan diagnostik sejelas mungkin akan meningkatkan kepercayaan terhadap vaksin kami," ujar Kepala Saintifik Johnson & Johnson, Paul Stoffels, Rabu, 21 April 2021.
Merespon kembali didistribusikannya vaksin COVID-19 Johnson & Johnson, beberapa negara mulai kembali menimbang penggunaannya. Belanda telah menyatakan kembali menggunakan vaksin COVID-19 Johnson & Johnson per Rabu ini.
Botol dan jarum suntik terlihat di depan logo Johnson & Johnson yang ditampilkan dalam ilustrasi yang diambil pada 11 Januari 2021. [REUTERS / Dado Ruvic / Ilustrasi]
Di antara sekian banyak vaksin COVID-19 yang ada, Johnson & Johnson adalah salah satu yang dianggap bisa mempercepat kampanye vaksinasi. Di saat vaksin-vaksin COVID-19 lainnya perlu disuntikkan dua kali dengan jeda tiap suntikan satu bulan, vaksin COVID-19 Johnson & Johnson hanya perlu disuntikkan satu kali.
Di Amerika, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) belum mengeluarkan putusan apakah akan mengikuti jejak Eropa. Menurut laporan Reuters, CDC dan badan regulator obat-obatan serta makanan (FDA) bakal menggelar pertemuan pada Jumat ini untuk menentukan rekomendasi penggunaan vaksin Johnson & Johnson .
"Hasil dari kajian vaksin (Johnson & Johnson) adalah penting sifatnya terhadap kelanjutan kampanye vaksinasi global. Hal itu mengingat vaksin COVID-19 Johnson & Johnson tidak memerlukan pendingin bersuhu ekstrim," ujar pakar epidemi Ashtyn Evans.
Sebelum kasus COVID-19 Johnson & Johnson , kasus serupa juga melanda vaksin AstraZeneca yang menggunakan teknologi serupa, Adenovirus. Hal itu membuat vaksin AstraZeneca sempat tidak digunakan berbagai negara karena khawatir kasus pembekuan darah. Namun begitu, AstraZeneca adalah salah satu vaksin COVID-19 paling terjangkau sehingga banyak dibeli, baik untuk digunakan sendiri atau untuk disumbangkan ke negara lain.
Baca juga: Johnson & Johnson Respon Rekomendasi Jangan Pakai Vaksin COVID-19 Buatannya
ISTMAN MP | REUTERS