TEMPO.CO, Jakarta - Iran terus melanjutkan program nuklirnya. Merayakan Hari Teknologi Nuklir Nasional, Presiden Iran Hassan Rouhani untuk pertama kalinya memperkenalkan mesin pengaya uranium baru milik negaranya. Mesin itu ditempatkan di Natanz, salah satu situs pengayaan nuklir terpenting milik Iran.
Rouhani menyadari bahwa pengenalan mesin pengaya uranium baru itu menimbulkan tanda tanya terhadap program nuklir Iran. Selama ini, Iran menyatakan bahwa program nuklir tidak akan ditujukan untuk kepentingan militeristik. Rouhani menegaskan komitmen tersebut tak berubah meski ia memperkenalkan mesin pengaya uranium baru.
"Saya tegaskan lagi bahwa segala aktivitas nuklir kami bersifat damai dan tidak bertujuan untuk kepentingan militer. Kami tetap bertahan pada janji kami untuk tidak mengubah program nuklir menjadi program militer," ujar Hassan Rouhani, Sabtu, 10 April 2021.
Berdasarkan video perayaan hari nuklir nasional, Hassan Rougani tampak memerintahkan penginjeksian gas uranium ke 164 mesin pengayaan IR-6, 30 mesin IR-5, dan mesin baru berkode IR-9. IR-9 disebut memiliki kapasitas pengayaan setara 50 mesin IR-1 di mana merupakan salah satu varian mesin pengayaan uranium terawal.
Dengan IR-9, Iran berpotensi memperbesar pelanggarannya terhadap Perjanjian Nuklir 2015. Seperti diberitakan sebelumnya, perjanjian nuklir tersebut dibuat untuk memastikan Iran tidak melanggar batas maksimal pengayaan uranium yang dikhawatirkan berbagai negara akan dimanfaatkan untuk kepentingan militer.
Pada tahun 2018, Amerika keluar dari perjanjian tersebut dan berlanjut memberikan sanksi ekonomi kepada Iran. Mengetahui Amerika keluar dari perjanjian, Iran memutuskan untuk melangggar batas yang ditetapkan. Per Februari lalu, Iran sudah melanggar batas maksimal hingga 20 persen.
Hassan Rouhani, dalam berbagai kesempatan, menyatakan bahwa Iran tidak keberatan untuk kembali ke batas semula yang diatur dalam perjanjian nuklir 2015 yang disebut JCPOA itu. Namun, Rouhani meminta Amerika untuk mengakhiri dulu sanksi ekonomi yang dijatuhkan ke Iran di masa pemerintahan mantan Presiden Donald Trump.
Presiden Amerika ke-46, Joe Biden, berniat membawa Amerika kembali ke Perjanjian Nuklir Iran. Per berita ini ditulis, baik Amerika maupun Iran sama-sama bertolak belakang soal proses kembali ke JCPOA. Amerika ingin Iran kembali ke perjanjian nuklir dulu, baru kemudian sanksi dibatalkan.
Baca juga: Khamenei Ragu Amerika Akan Benar-benar Batalkan Sanksi ke Iran
ISTMAN MP | REUTERS