TEMPO.CO, Jakarta - Rusia pada Selasa, 6 April 2021, memperingatkan bahwa penjatuhan sanksi kepada Myanmar dari negara-negara Barat telah berpotensi membuat negara yang dulu bernama Burma itu, terperosok dalam perang sipil. Pemerintah Myanmar saat ini dikuasai oleh militer.
Pandangan Rusia bertolak belakang dengan Prancis yang menyebut Uni Eropa akan meningkatkan sejumlah pembatasan pada para Jenderal di Myanmar.
Rusia pada Selasa, 6 April 2021, menyatakan sanksi-sanksi terhadap otoritas sangat berbahaya dan sia-sia.
“Pada kenyataannya, ‘kontribusi’ seperti itu cuma mengadu domba kedua belah pihak dan pada akhirnya mendorong masyarakat Myanmar pada perang sipil skala besar,” demikian keterangan Kementerian Luar Negeri Rusia seperti dikutip dari kantor berita Interfax.
Para pengunjuk rasa berlindung ketika petugas polisi anti huru hara menembakkan tabung gas air mata selama unjuk rasa menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, 27 Februari 2021. Polisi Myanmar menembaki pengunjuk rasa pada hari Minggu di hari paling berdarah dalam berminggu-minggu demonstrasi menentang kudeta militer. [REUTERS / Stringer]
Baca juga: Jumlah Korban Jiwa Selama Kudeta Myanmar Capai 520 Orang
Militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021. Kudeta tersebut telah memancing dilakukannya gelombang unjuk rasa pro-demokrasi dan pembangkangan sipil di seluruh Myanmar.
Kudeta militer dan demonstran yang berguguran, telah mendorong kecaman berbagai negara. Beberapa negara barat bahkan menambah sanksi kepada Myanmar.
Pada Selasa, 6 April 2021, di Ibu Kota Yangon, demonstran menyemprotkan cat pilox warga merah di jalan-jalan. Itu sebagai simbol pertumpahan darah, yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar kepada demonstran.
“Darah ini belum mengering,” tulis salah satu pesan dari demonstran.
Lembaga advokasi Association for Political Prisoners (AAPP) melaporkan ada sekitar 570 orang termasuk, termasuk puluhan anak-anak, tewas ditembak oleh tentara Myanmar. Otoritas keamanan Myanmar telah menahan hampir 3.500 orang, diantara mereka yang ditahan adalah Suu Kyi dan beberapa politikus dari Partai Liga Nasional Demokrasi.
Sumber: Reuters