TEMPO.CO, Jakarta - Korban selama kudeta Myanmar terus bertambah. Angka terbaru, total ada 521 orang tewas sejak kudeta dimulai pada 1 Februari lalu. Adapun angka kematian terbesar dicatatkan pada Sabtu pekan lalu di mana 141 orang tewas yang beberapa di antaranya akibat serangan udara ke permukiman kelompok etnis di Karen.
Untuk mengenang mereka yang tewas selama kudeta berlangsung, warga Myanmar akan menggelar malam berkabung dengan menyalakan lilin di berbagai penjuru kota selama beberapa hari ke depan. Di sisi lain, hal itu juga menjadi pemberontakan terhadap aturan jam malam yang diterapkan Militer Myanmar untuk menekan perlawanan warga.
"Sebanyak delapan orang meninggal pada Selasa kemarin ketika ribuan orang menggelar aksi unjuk rasa di berbagai kota," ujar keterangan pers Asosiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik, Rabu, 31 Maret 2021.
Berbagai kelompok etnis di Myanmar khawatir pembantaian oleh junta militer masih akan terus berlanjut. Oleh karenanya, mereka mendesak adanya langkah untuk menghentikan aksi junta Militer Myanmar sesegera mungkin sebelum korban bertambahn banyak.
Kelompok Etnis Karen, yang terdampak serangan udara Militer Myanmar pada akhir pekan lalu, meminta negara-negara tetangga untuk memutus hubungan dengan junta. Sementara itu, kelompok bersenjata Kachin Independence Army membalas dengan menyerang langsung pos-pos Militer Myanmar.
Baca Juga:
Menteri Luar Negeri Amerika, Antony Blinken, mendukung apa yang dikatakan kelompok-kelompok etnis Myanmar. Ia membujuk negara-negara dan perusahaan internasional yang memiliki kepentingan atau hubungan dengan Myanmar untuk mengkaji kembali hal tersebut. Terutama, kata Blinken, jika berhubungan langsung dengan Militer Myanmar.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berbicara selama kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Departemen Luar Negeri di Washington, AS, 4 Februari 2021. [REUTERS / Tom Brenner]
Sementara itu, Direktur Power and Diplomacy Program dari Lowy Institute, Herve Lemahieu, menyatakan Myanmar berpotensi menjadi negara gagal (Failed State). Dikutip dari CNBC, ia berkata situasi di Myanmar kian kompleks dan sulit terkendali karena Militer Myanmar sudah memutuskan untuk memerintah dengan "kekuatan senjata".
Agar situasi di Myanmar bisa segera diakhiri, Lemahieu menyatakan penting untuk komunitas internasional solid menolak kudeta. Sanksi dan kecaman, kata ia, tidak akan berdampak besar jika negara-negara besar atau mereka yang memiliki kepentingan dengan Myanmar tidak sejalan untuk segera mengakhiri kudeta.
"Apa yang kita butuhkan, minimum, adalah Cina, India, Amerika dan Jepang bersama-sama mendesak Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing untuk mundur pada Juni nanti. Itu bisa menjadi sinyal perubahan," ujar Lemahieu.
Hal senada dinyatakan oleh Rodger Baker, Wakil Presiden Senior dari lembaga konsultan geopolitik Stratfor. Ia berkata, titik tekan yang krusial terhadap Militer Myanmar agar mereka segera mengakhiri kudeta adalah ekonomi. Agar Militer Myanmar benar-benar terdesak, kata ia, komunitas internasional harus solid memutus hubungan dengan junta dan Cina harus berada di dalam komunitas itu.
"Kalian harus bisa membuat Cina, terutama, untuk menghentikan kerjasama ekonomi dengan Myanmar. Namun, itu memang sulit mengingat Cina tidak mau menekan Myanmar terlalu jauh," ujar Baker. Sebagaimana diketahui, Cina memiliki proyek jalur sutera Belt and Road Initiative yang melewati Myanmar.
Hingga berita ini ditulis, Militer Myanmar belum mau memberikan komentar.
Baca juga: Militer Myanmar Tewaskan Puluhan Anak Selama Kudeta Berlangsung
ISTMAN MP | REUTERS | CNBC