TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Amerika Donald Trump sepertinya akan mulai pemanasan untuk Pilpres 2024. Kantor berita Reuters mengabarkan ia akan mulai aktif lagi menyapa publik, terutama pendukungnya, lewat platform media sosial baru.
Adalah mantan jubir kampanye Donald Trump di Pilpres Amerika 2020, Jason Miller, yang mengungkapkan kabar tersebut. Ia berkata, proses pengembangan platform media sosial baru tersebut telah berjalan dan akan segera rilis.
"Ini akan menjadi platform media sosial yang benar-benar menggebrak," ujar Miller, dikutip dari kantor berita Reuters, Ahad, 21 Maret 2021.
Miller tidak memberikan info lebih lanjut soal nama ataupun fitur dari platform media sosial tersebut. Ia hanya mengatakan bahwa platform terkait bisa rilis dalam dua hingga tiga bulan lagi.
Sebagaimana diketahui, Donald Trump "diusir" dari berbagai platform media sosial pada Januari lalu. Gara-garanya, dia dianggap memprovokasi warganya untuk menyerbu gedung US Capitol. Dalam peristiwa kerusuhan US Capitol, sebanyak enam orang tewas.
Salah satu media sosial yang mendepak Donald Trump adalah Twitter, platform andalannya untuk menyapa publik dan membuat berbagai klaim. Dalam seharinya, Donald Trump bisa nge-tweet 18 kali per hari di Twitter. Selain itu, ia bisa tidak lepas sama sekali dari Twitter dengan istirahat terlamanya dari platform itu hanya 2 hari.
Tak semua tweet Donald Trump di Twitter berkualitas. Banyak di antaranya menyebarkan disinformasi atau berpotensi menyesatkan. Hal itu nyaris tak terhentikan karena ia memiliki hak istimewa saat menjadi Presiden Amerika: tweet-nya tidak boleh dihapus, hanya diberi label peringatan. Total, per 17 Desember 2020, ada 362 tweet Donald Trump yang kena semprit Twitter.
Sejak didepak dari berbagai media sosial, kabar Donald Trump akan membentuk media sosialnya sendiri mulai berkembang. Tak hanya itu, ia juga ingin membuat siaran televisinya sendiri. Di hari-hari terakhirnya memimpin Amerika, Donald Trump mengumpulkan berbagai pakar media untuk mendapatkan masukan.
Sementara itu, pekan lalu, Twitter menyatakan akan meminta masukan publik soal kapan dan bagaimana mereka sebaiknya menindak pemimpin negara yang menyalahgunakan platformnya. Twitter tidak ingin kasus Donald Trump terulang sehingga mempertimbangkan ulang kebijakan hak istimewanya.
Facebook juga tengah melakukan hal senada. Platform yang memblokir Donald Trump hingga waktu yang belum ditentukan tersebut bahkan juga menimbang apakah blokir terkait perlu permanen atau tidak.
Baca juga: Resor Mewah Donald Trump Ditutup Karena Ada Pegawainya Positif Covid-19
ISTMAN MP | REUTERS