TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi Portugal pada Senin, 15 Maret 2021, menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disetujui oleh anggota parlemen pada awal 2021 lalu, yang mengizikan pasien dengan penyakit kritis atau sudah stadium akhir mendapat bantuan dokter untuk suntik mati atau mengakhiri hidup mereka (euthanasia).
Keputusan Mahkamah Konstitusi itu dibuat setelah Presiden Portugal Marcelo Rebelo de Sousa yang konservatif, meminta pengadilan agar mengevaluasi RUU tersebut. Sebab RUU itu tampak mengandung sejumlah konsep yang tidak terdefinisi.
RUU ini disetujui oleh parlemen pada Januari 2021 lalu, yang berusia orang-orang yang berusia 18 tahun ke atas boleh mengajukan permohonan ‘meninggal’ jika mereka dalam kondisi mengalami penyakit yang sudah stadium akhir dan sudah lama menderita dari sakit yang tak tertahankan. Permohonan tidak bisa diajukan jika pemohon tidak sehat secara mental.
Baca juga: Ilmuwan Ini Ingin Akhiri Hidupnya dengan Cara Suntik Mati
Presiden Rebelo de Sousa sebelumnya mengatakan dia akan sangat menghargai hasil pemungutan suara parlemen, namun dia masih membutuhkan putusan dari Mahkamah Konstitusi untuk dievaluasi.
Hakim Pedro Machete mengatakan RUU meminta kematian bagi penderita penyakit kronis, tidak ada konstitusinya. Sebab beberapa klausul mengancam prinsip kehidupan yang tidak dapat diganggu-gugat.
Dengan penolakan dari Mahkamah Konstitusi ini, maka parlemen Portugal sekarang harus mengevaluasi lagi terkait hal-hal yang menjadi kekhawatiran pengadilan dan mendapatkan persetujuan dari Presiden Rebelo de Sousa secara praktik.
Portugal adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Katholik. Portugal telah melegalkan aborsi pada 2007 dan mengizinkan pernikahan sesama jenis pada 2010.
Sumber: Reuters