TEMPO.CO, Jakarta - Kawasan industrial Hlaingthaya menjadi salah satu lokasi berdarah di Myanmar pada Ahad kemarin. Militer Myanmar membunuh 22 orang di sana, menjadikannya sebagai salah satu pembantaian terburuk sepanjang kudeta. Di saat bersamaan, beberapa pabrik garmen dan pupuk milik Cina di sana terbakar.
Alih-alih mengomentari pembantaian yang terjadi, Cina malah mengomentari kebakaran dan kerusuhan yang terjadi di sana. Tepatnya, Cina meminta Pemerintah Myanmar untuk menghentikan aksi kekerasan di Hlaingthaya demi keselamatan aset-aset miliknya. Kabar yang beredar, ada empat pabrik Cina yang terbakar.
"Cina mendesak Myanmar mengambil langkah lebih lanjut untuk menghentikan segala aksi kekerasan, menghukum pelaku pembakaran berdasarkan regulasi yang berlaku, dan menjamin keselamatan parbik serta karyawan Cina," ujar pernyataan pers Kedubes Cina, dikutip dari kantor berita Reuters, Senin, 15 Maret 2021.
Komentar Cina tak ayal mendapat reaksi keras dari warga Myanmar. Mereka mengkritik Cina yang lebih memperhatikan kebakaran pabriknya yang terjadi di Hlaingthaya dibanding pembantaian yang terjadi di sana.
Untuk mengekspresikan kekesalannya, warga Myanmar membombardir laman Facebook Pemerintah Cina dengan komentar negatif. Dan, setiap komentar, disertai dengan ikon emoji tertawa.
"Jika kalian ingin berbisnis di sini, hormati dulu kami warga Myanmar. Berjuanglah Hlaingthaya, kami bangga terhadap kalian," ujar salah satu koordinator protes Myanmar, Ei Thinzar Maung.
Menurut laporan kantor berita Reuters, sentimen anti-Cina memang berkembang sejak kudeta Myanmar berlangsung. Pihak oposisi dari junta militer mempermasalahkan sikap Cina yang cenderung diam dalam menyikapi kudeta Myanmar. Beberapa pihak bahkan beranggapan Cina hendak memanfaatkan situasi di Myanmar untuk memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara.
Sepanjang kudeta Myanmar berlangsung, Cina memang cenderung lebih kalem. Selain tidak menjatuhkan sanksi terhadap Militer Myanmar, Cina juga menganggap apa yang terjadi di sana adalah konflik internal. Bahkan, media-media milik pemerintah di Cina menyebut situasi kudeta Myanmar sebagai "reshuffle kabinet besar-besaran".
Sikap Cina tersebut kontras dengan negara-negara Barat. Mereka sudah menjatuhkan sanksi ekonomi dan personal terhadap sejumlah pejabat Militer Myanmar. Amerika bahkan memperkuat sanksinya pekan ini dengan memblokir sejumlah aktivitas dagang yang berkaitan dengan Kementerian Pertahanan Myanmar.
Penasihat dari junta militer Myanmar, Ari Ben-Menashe, membantah anggapan yang beredar tersebut. Ia mengklaim junta Militer Myanmar bukannya merapat ke Cina, tetapi malah mencoba menjauhinya. Sebab, menurut para pejabat Militer Myanmar, pemerintahan sebelumnya terlalu dekat dengan Cina.
Pernyataan senada muncul dari Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi. Wang Yi mengatakan bahwa Cina tidak pernah tinggal diam akan situasi di Myanmar. Namun, ia juga tidak ingin Cina ikut campur dalam urusan negara lain.
"Cina bersedia untuk menghubungi dan berkomunikasi dengan segala pihak yang terlibat tanpa melanggar kedaulatan mereka. Jadi, kami akanfmengambil peran yang konservatif untuk meredakan ketegangan di sana," ujar Wang Yi pada 7 Maret lalu.
Per berita ini ditulis, wujud komunikasi atau hubungan yang disampaikan Wang Yi tersebut belum terlihat hasil ataupun wujudnya. Sementara itu, situasi Kudeta Myanmar kian memburuk dengan 126 orang terbunuh dan 2150 ditangkap Militer Myanmar karena terlibat dalam gerakan perlawanan.
Baca juga: Korban Jiwa Selama Kudeta Myanmar Capai 120 Orang
ISTMAN MP | REUTERS