TEMPO.CO, Jakarta - Tidak semua aparat Myanmar mau menembak demonstran penentang kudeta. Laporan CNN mengatakan kurang lebih ada 100 personil, baik dari Kepolisian maupun Militer, yang menolak untuk melakukan hal tersebut. Sekarang, mereka tidak lagi Myanmar untuk menghindari potensi hukuman dari junta militer.
Salah satu di antara mereka yang berhasil kabur bernama Tha Peng. Ia, yang berpangkat kopral, mengaku diperintahkan untuk menembak demonstran dalam unjuk rasa di Khampat pada Februari lalu. Peng menolak perintah tersebut.
"Hari berikutnya, atasan menanyai lagi apakah saya akan menembak. Saya menjawab tidak dan mengundurkan diri dari satuan," ujar mantan personil Kepolisian Myanmar itu, Jumat, 12 Maret 2021.
Tha Peng kabur dari Myanmar dua hari setelah ia mengundurkan diri. Ia meninggalkan istri serta dua anak perempuan. Tha Peng khawatir nyawa mereka bakal ikut terancam jika kabur bersamanya. Adapun Tha Peng menetapkan India sebagai tujuan utama.
Kurang lebih tiga hari ia habiskan untuk menyebrang ke negara bagian Mizoram di India. Tha Peng bergerak tiap malam, untuk menghindari deteksi personil Militer Myanmar yang berpatroli.
"Saya tidak punya pilihan," ujar Tha Peng yang enggan mengungkapkan nama lengkapnya atas alasan keamanan. Tha Peng menambahkan, kurang lebih enam orang di satuannya yang melakukan langkah serupa dengannya.
India menjadi tempat pelarian utama para desertir dari Myanmar. Hal itu didukung akses perbatasannya yang tidak rumit. Menurut pejabat di Pemerintahan India, sejak unjuk rasa menentang kudeta Myanmar berlangsung, makin banyak desertir yang kabur ke India. Ada yang kabur seorang diri, bersama-sama teman, ada juga yang memborong keluarganya.
Mereka yang berhasil kabur ke India kemudian mengungkapkan apa saja yang terjadi di bawah pemerintahan Militer Myanmar dan apa yang membuat mereka kabur. Rasa tidak tega untuk menembak warga Myanmar menjadi pemicu utama, disusul ketakutan akan menjadi target junta berikutnya.
"Mengacu pada aturan Kepolisian, demonstran hanya perlu ditertibkan dengan tembakan peluru karet atau tembakan ke area di bawah lutut. Namun, saya dipertintahkan untuk menembak warga hingga mereka tewas," ujar Tha Peng.
Tentara Myanmar berjalan di sepanjang jalan selama protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, 28 Februari 2021. [REUTERS / Stringer]
Ngun Hlei, sesama desertir yang kabur ke India, menerima perintah sama. Ia diminta menembak warga hingga tewas. Dirinya menolak dan berakhir dimutasi. Namun, Ngun Hlei berkyakinan nyawanya bakal terancam juga.
Kabur ke India bukan pilihan mudah kata Ngun Hlei. Untuk memastikan rencananya mulus, Ngun Hlei meminta bantuan kepada aktivis pro-demokrasi yang tengah diincar Militer Myanmar. Dari mereka, Ngun Hlei mendapat jalur teraman via darat dengan biaya perjalanan kurang lebih Rp3 juta rupiah.
Militer Myanmar tidak tinggal diam. Mereka tahu ada banyak desertir yang kabur ke India. Lewat Kepolisian, mereka meminta Pemerintah India untuk mengembalikan para desertir itu dengan dalih "menjaga hubungan baik kedua negara".
Pemerintah India belum mengambil sikap. Untuk saat ini, mereka akan menampung para desertir dulu sampai ada keputusan lebih lanjut. Tha Peng cs sekarang khawatir mereka akan dipaksa kembali ke Myanmar, terlepas mereka rindu terhadap keluarga masing-masing.
"Saya tidak ingin kembali," ujar pria yang sudah sembilan tahun menjadi bagian dari Kepolisian Myanmar itu.
Baca juga: AICHR: Rekonsiliasi NLD dan Junta Solusi Paling Mungkin untuk Krisis Myanmar
ISTMAN MP | CNN