TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu skenario yang paling mungkin untuk menyelesaikan krisis Myanmar yakni komunitas internasional, termasuk ASEAN, harus membujuk junta militer untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil dengan imbalan amnesti bagi militer, menurut Yuyun Wahyuningrum, Perwakilan Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission of Human Rights (AICHR).
Skenario ini adalah satu dari empat skenario yang dipaparkan oleh mantan duta besar RI untuk Inggris sekaligus peneliti senior Indonesia Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rizal Sukma, dalam opini Harian Kompas, edisi 9 Maret 2021.
"Skenario memberi pengampunan untuk militer Myanmar kemungkinan tidak akan disukai oleh rakyat Myanmar karena kemarahan mereka saat ini, bahkan mungkin juga tidak disukai oleh banyak orang Indonesia, namun jika mengesampingkan pertentangan itu, ini adalah yang paling mungkin," kata Yuyun Wahyuningrum saat diskusi virtual "40 Hari di Bawah Bayang-bayang Kudeta Militer di Myanmar dan Gerakan Pembayangan Sipil" yang digelar Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), 12 Maret 2021.
Kemudian skenario kedua, yang mengusulkan pembentukan pemerintahan sementara yang dipimpin bukan dari kalangan militer maupun Partai NLD Aung San Suu Kyi, adalah proses yang panjang untuk diimplementasikan, pun memerlukan waktu untuk dialog, kata Yuyun. Skenario ini pernah diimplementasikan pada krisis politik Thailand 1992.
"Committee Representative of Pyidaungsu Hluttaw (CRPH/parlemen yang dibentuk oleh pemerintahan sipil yang menang pemilu 2020), adalah sesuatu yang tidak disukai militer. Selain itu, untuk memilih tokoh yang tidak memihak pemerintahan sipil NLD maupun militer, akan membutuhkan dialog yang panjang," ujar Yuyun.
Baca Juga:
Bahkan, kata Yuyun, CRPH perlu meyakinkan kelompok etnis Myanmar bahwa pemerintahan mereka ingin membentuk pemerintahan demokratis dengan sistem federalisme. "Ide federalisme ini sudah dibicarakan bertahun-tahun sebelumnya, tetapi gagasan federalisme belum direalisasikan. Jadi CRPH."
Skenario ketiga adalah yang diinginkan oleh junta militer. Militer Myanmar sebelumnya menjanjikan pemilu baru dalam satu tahun mendatang. "Tapi rakyat menolak pemilu baru dan menilai pemilu 2020 adalah pemilu yang adil," kata Yuyun.
Adapun skenario keempat, yakni Responsibility to Protect (R2P), sebuah komitmen internasional untuk melakukan intervensi mencegah kejahatan kemanusiaan, bahkan tekanan lebih lanjut dengan intervensi militer di bawah tanggung jawab Dewan Keamanan PBB.
"R2P adalah skenario yang berbahaya. Ini tentu akan ditolak oleh negara tetangga. Tapi kita masih belum tahu soal skenario ini sejauh mana bakal terjadi, tetapi yang paling mungkin adalah skenario rekonsiliasi," papar Yuyun.
Skenario ini mengharuskan militer Myanmar untuk mundur dan kesediaan NLD untuk rekonsiliasi. "Yang paling mungkin adalah skenario ini karena pemerintahan sipil tetap bisa berkuasa dengan syarat yang diajukan militer," tutur Yuyun.
Asap mengepul dari benda-benda yang terbakar selama protes di Yangon, Myanmar, 4 Maret 2021, dalam gambar diam yang diambil dari sebuah video. [Facebook Bangkoksighseeing / melalui REUTERS]
Perwakilan Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission of Human Rights (AICHR) telah menyerukan agar pasukan keamanan Myanmar menghentikan penggunaan kekerasan terhadap demonstran penentang kudeta.
AICHR juga menyerukan pembebasan pejabat sipil, aktivis, dan demonstran yang ditahan oleh junta.
40 hari pasca-kudeta militer 1 Februari, AICHR mencatat ada lebih dari 2.000 orang yang ditahan. AICHR mengatakan pasukan keamanan memukuli demonstran, mahasiswa, perempuan hamil, medis, termasuk merusak properti warga dan menembaki warga sipil, melalui tinjauan video dan foto yang beredar di media sosial.
Pada Kamis Reuters melaporkan, Amnesty International menuduh militer Myanmar menggunakan taktik perang dan senjata yang digunakan dalam perang, termasuk senapan sniper dan senapan mesin ringan, serta senapan serbu dan senapan pistol mitraliur, untuk menghadapi para demonstran penentang kudeta.
Baca juga: PBB: Korban Meninggal Selama Kudeta Myanmar Capai 70 Orang
Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, Tom Andrews, mengatakan polisi dan tentara diperintah untuk menembak mati pengunjuk rasa.
"Mereka menggunakan shotgun 12-gauge, mereka menggunakan senapan 38 mm, mereka menggunakan senapan semi-otomatis melawan pengunjuk rasa damai yang tidak menimbulkan ancaman bagi mereka," kata Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, Tom Andrews, dikutip dari CNN.
Demonstran Myanmar kembali berunjuk rasa pada Jumat terjadi sehari setelah sebuah kelompok hak asasi mengatakan pasukan keamanan menewaskan 12 pengunjuk rasa.
Kematian itu menambah korban jiwa menjadi 70 lebih sejak protes kudeta dilakukan, kata kelompok advokasi tahanan politik Assistance Association for Political Prisoners (AAPP).
Militer Myanmar menolak untuk mengomentari kematian terakhir, tetapi juru bicara junta militer mengatakan pada Kamis bahwa pasukan keamanan Myanmar didisiplinkan dan menggunakan kekuatan hanya jika diperlukan.
REUTERS | CNN