TEMPO.CO, Jakarta - Apa yang dikhawatirkan oleh aktivis pro-demokrasi di Hong Kong menjadi kenyataan. Dikutip dari Channel News Asia, Parlemen Cina telah memutuskan untuk mengesahkan perubahan sistem elektoral di Hong Kong. Perubahan itu termasuk memberikan hak veto kepada Beijing (Pemerintah Pusat Cina) terkait siapa yang berhak dicalonkan untuk menjadi Kepala Pemerintahan Hong Kong.
Dengan perubahan tersebut, maka kans aktivis pro-demokrasi mengisi pos pemerintahan di Hong Kong untuk mengembalikan demokrasi kian kecil. Cengkraman Cina kian kuat karena mereka ingin memastikan siapapun yang memimpin Hong Kong adalah loyalis mereka atau Patriot. Pemerintah Cina mengklaim perubahan tersebut adalah yang terbaik untuk Hong Kong.
"Niat pemerintah pusat tidak buruk. Kami menginginkan segala lini di masyarakat mendukung dan memberi masukan atas perubahan ini, agar aura positif bisa berkumpul di bawah bendera patriotisme dan kecintaan terhadap Hong Kong," ujar Kantor Perwakilan Pemerintah Cina di Hong Kong, Kamis, 11 Maret 2021.
Seperti diberitakan sebelumnya, upaya Cina mengubah sistem elektoral Hong Kong tersebut dipicu krisis yang terjadi di sana. Beberapa tahun terakhir, rakyat gencar melawan pemerintah Cina yang mereka anggap hendak mengambil alih independensi Hong Kong. Selama ini, Cina menganggap Hong Kong sebagai miliknya dan pemerintahan salah satu pusat bisnis di Asia itu mendukungnya
Puncak dari krisis itu adalah ketika Parlemen Cina, dalam kongres politik tahun lalu, mengesahkan UU Keamanan Nasional Hong Kong. Pemerintah Cina mengklaim UU Keamanan Nasional dibuat untuk melindungi konstitusi Hong Kong dari berbagai ancaman, mulai dari intervensi asing, kudeta, hingga terorisme. Kenyataannya, regulasi itu malah dipakai untuk membungkan kelompok-kelompok pro-demokrasi.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, mengenakan masker wajah untuk mencegah wabah penyakit virus corona (Covid-19), saat menghadiri konferensi pers di Hong Kong, Cina, 31 Juli 2020. [REUTERS / Lam Yik]
Perubahan sistem elektoral Hong Kong, yang baru disahkan, menjadi pukulan berikutnya untuk kelompok pro demokrasi. Dengan perubahan itu, maka kelompok pro demokrasi berpotensi lebih sulit masuk ke pos pemerintahan atau Parlemen Hong Kong. Adapun Kepala Pemerintahan Hong Kong Carrie Lam menganggapnya sebagai cara agar pemerintahan Hong Kong solid.
"Saya mengapresiasi langkah Parlemen Cina. Ini adalah upaya untuk membawa Hong Kong untuk kembali ke jalan yang benar," ujar Carrie Lam
Perubahan sistem elektoral ini akan meliputi berbagai sisi. Beberapa di antaranya mulai dari ukuran dan komposisi Parlemen Hong Kong hingga fungsi Komite Penyelenggara Pemilu. Adapun komite itu akan dilengkapi dengan mekanisme baru untuk menyeleksi kandidat serta tingkah laku pemenang pemilu untuk memastikan mereka loyalis Cina.
"Ukuran Komite Penyelenggara Pemilu akan diperbesar dari 1200 menjadi 1500. Sementara itu, kursi di legislatif ditambah dari 70 menjadi 90 kursi," ujar juru bicara Parlemen Cina Wang Chen.
Saat ini, 50 persen dari 70 kursi di Parlemen Hong Kong dipilih melalui sistem pemilihan langsung. Biasanya, politisi pro-demokrasi memiliki capaian yang lebih baik dibanding loyalis Beijing. Hal itu didukung prinsip hak pilih universal (Universal Suffrage) yang memunkinkan warga untuk menentukan sendiri siapa wakilnya di pemerintahan.
Dengan perubahan yang baru, maka porsi wakil rakyat yang bisa dipilih langsung bakal berkurang. Dengan kata lain, jumlah loyalis Cina akan kian besar. Adapun loyalis-loyalis itu bisa dari berbagai sektor mulai dari industri, serikat pekerja, atau professional.
Baca juga: Pemerintah Hong Kong Dukung Cina Ubah Sistem Elektoral jadi Pro Loyalis
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA