TEMPO.CO, Jakarta - Polisi Myanmar yang menyeberang ke perbatasan India mengaku dia kabur karena menolak perintah untuk menembak mati demonstran dengan senapan mesin ringan miliknya saat demonstrasi di kota Khampat pada 27 Februari.
"Keesokan harinya, seorang perwira bertanya pada saya apakah saya akan menembak (demonstran)," kata polisi berusia 27 tahun yang berpangkat kopral tersebut. Dia menolak dan keluar dari korps kepolisian.
Dikutip dari Reuters, 10 Maret 2021, pada 1 Maret dia meninggalkan rumahnya dan keluarganya di Khampat. Dia melakukan perjalanan tiga hari, yang lebih banyak dilakukan pada malam untuk menghindari pengawasan, sebelum akhirnya tiba di negara bagian Mizoram di timur laut India.
"Saya tidak punya pilihan," kata Tha Peng kepada Reuters pada Selasa. Dia tidak memberikan nama lengkap untuk melindungi identitasnya, tetapi nama lengkapnya tertera di kartu anggota polisi dan KTP Myanmar. Kedua kartu itu mengkonfirmasi identitasnya.
Peng mengaku dia dan enam rekannya membelot perintah atasannya pada 27 Februari. Ia tidak mengungkap nama atasannya.
Sejauh ini klaim Peng belum diverifikasi, tetapi junta militer Myanmar telah mengirim surat ke India untuk memulangkan polisi yang kabur ke India.
Selain kartu identitasnya, Tha Peng menunjukkan foto dirinya tanpa tanggal yang mengenakan seragam polisi Myanmar. Dia mengatakan dia bergabung dengan kepolisian sembilan tahun lalu.
Tha Peng mengatakan, menurut aturan polisi, pengunjuk rasa harus dihentikan dengan peluru karet atau ditembak di bawah lutut. Reuters tidak dapat memverifikasi kebijakan polisi Myanmar ini.
Tapi dia diberi perintah oleh atasannya untuk "menembak sampai mereka mati," katanya.
Angel atau yang dikenal Kyal Sin, 19 tahun, berlindung sebelum ditembak di kepalanya saat pasukan Myanmar melepaskan tembakan untuk membubarkan demonstrasi anti-kudeta di Mandalay, Myanmar, 3 Maret 2021. REUTERS/Stringer
Keterangan Peng serupa dengan yang diberikan kepada polisi di Mizoram pada 1 Maret oleh polisi Myanmar berpangkat kopral lainnya dan tiga polisi jaga yang menyeberang ke India, menurut dokumen rahasia internal polisi.
Dokumen tersebut, yang dilihat Reuters, ditulis oleh petugas polisi Mizoram dan memberikan rincian biografi keempat individu tersebut dan penjelasan mengapa mereka melarikan diri.
"Karena gerakan pembangkangan sipil mendapatkan momentum dan protes yang diadakan oleh pengunjuk rasa anti-kudeta di berbagai tempat, kami diperintahkan untuk menembak para pengunjuk rasa," kata mereka dalam pernyataan bersama kepada polisi Mizoram.
"Dalam skenario seperti itu, kami tidak punya keberanian untuk menembak rakyat kami sendiri yang merupakan demonstran damai," kata mereka.
Lebih dari 60 pengunjuk rasa telah tewas dan lebih dari 1.800 ditahan, kata Assistance Association for Political Prisoners, sebuah kelompok advokasi untuk tahanan politik. Di antara tahanan tersebut adalah peraih Nobel Aung San Suu Kyi, yang memimpin pemerintahan sipil.
Baca juga: Junta Militer Sengaja Pakai Peluru Tajam untuk Membunuh Demonstran Myanmar
Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, Tom Andrews, mengatakan melihat adanya perintah agar polisi dan tentara militer menembak mati pengunjuk rasa.
"Mereka menggunakan shotgun 12-gauge, mereka menggunakan senapan 38 mm, mereka menggunakan senapan semi-otomatis melawan pengunjuk rasa damai yang tidak menimbulkan ancaman bagi mereka," kata Tom Andrews, dikutip dari CNN.
Junta militer Myanmar, yang melancarkan kudeta pada 1 Februari dan menggulingkan pemerintah sipil negara itu, belum merespons Reuters terkait laporan ini.
Junta mengatakan mereka bertindak dengan sangat menahan diri dalam menangani apa yang disebutnya sebagai demonstrasi oleh "pengunjuk rasa huru-hara", yang dituduhnya menyerang polisi Myanmar dan merusak keamanan dan stabilitas nasional.
Kasus Tha Peng adalah salah satu kasus pertama yang dilaporkan media tentang polisi Myanmar yang melarikan diri dari Myanmar setelah tidak mematuhi perintah dari pasukan keamanan junta militer.
REUTERS | CNN