TEMPO.CO, Jakarta - Militer Myanmar sengaja menembak peluru tajam untuk membunuh para demonstran Myanmar yang menentang kudeta militer, menurut kerabat, kelompok HAM, dan keterangan dokter yang memeriksa korban.
Luka mematikan dan lubang peluru yang mengenai tubuh demonstran Myanmar, seperti yang terlihat dalam foto dan rincian percakapan dengan anggota keluarga, adalah sebagian bukti yang menunjukkan bahwa pasukan keamanan junta militer menembak untuk membunuh.
"Semuanya menunjuk pada pasukan yang mengadopsi taktik tembak-menembak untuk menekan protes, dan dengan diamnya pemerintahan militer, ada konsensus yang berkembang bahwa ini telah disahkan oleh pemerintah," kata Deputi Direktur Regional untuk Riset Amnesty International, Emerlynne Gil, mengatakan pada Kamis, dikutip dari CNN, 5 Maret 2021.
Rabu kemarin adalah hari paling berdarah dalam protes empat minggu terakhir, ketika pasukan keamanan menembaki kerumunan orang di seluruh negeri, menewaskan sedikitnya 38 orang. Gambar dan rekaman, ditangkap oleh para pengamat, wartawan lokal dan jurnalis warga, menunjukkan mayat tergeletak di jalan dikelilingi oleh genangan darah saat pengunjuk rasa berlari untuk berlindung.
Rekaman lain menunjukkan polisi Myanmar memukuli pengunjuk rasa yang ditahan dan dalam satu cuplikan, pasukan keamanan terlihat memukuli tiga pekerja medis sukarela dengan senjata dan tongkat mereka.
Amnesty mengatakan, pemandangan mengerikan yang berlangsung di seluruh Myanmar menunjukkan semakin banyak bukti kebrutalan aparat di bawah komando pemimpin kudeta Jenderal Min Aung Hlaing.
"Kami melihat lonjakan pembunuhan di luar hukum, termasuk eksekusi di luar hukum, tanpa upaya nyata untuk mengekang penggunaan kekuatan mematikan," kata Gil. "Jika ada, pasukan keamanan tampak semakin berani dalam menggunakan senjata mematikan mereka setiap hari."
Petugas polisi menggotong jenazah saat unjuk rasa menentang kudeta militer di Monywa, Myanmar, Rabu, 3 Maret 2021. Seorang penerbang drone berhasil menangkap momen saat polisi memindahkan korban meninggal dalam kericuhan. REUTERS.
Zin Ko Ko Zaw, 22 tahun, tewas terkena peluru di kepala; Ma "Angel" Kyal Sin, 19 tahun, ditembak mati di kepala; dan Nay Myo Aung, 16 tahun, tewas tertembak peluru yang menembus paru-parunya.
Tiga demonstran muda itu adalah bagian dari 54 orang yang diyakini telah dibunuh oleh junta militer Myanmar sejak protes damai di seluruh negeri terhadap kudeta 1 Februari dimulai.
Di kota Myinchan, dekat Mandalay Wednesday, Zin Ko Ko Zaw sedang melakukan protes bersama keluarganya. Video hari itu menunjukkan orang-orang memukuli panci dan wajan di dekat barisan pengunjuk rasa dan pasukan keamanan, sebelum tembakan senjata terdengar dan kerumunan menyebar.
Dalam huru-hara tersebut, Zin Ko Ko Zaw ditembak di kepala. Saudaranya membawanya ke ambulans yang menunggu tetapi nyawanya tidak bisa diselamatkan.
"Saya terpaksa menyeret tubuhnya keluar dan dia meninggal di tangan saya," kata saudaranya, Than Zaw Oo. Darah mengalir dari mulut dan kepalanya.
Zin Ko Ko Zaw akan berusia 23 bulan depan. Orang tuanya mengatakan dia adalah pencari nafkah keluarga dan bekerja di pasar lokal. Mereka semua bersama-sama melakukan protes, tetapi terpisah ketika penembakan dimulai.
"Mereka (demonstran) tidak memiliki senjata, tetapi mereka (aparat) bersenjata lengkap. Yang bisa kami lakukan hanyalah protes. Mereka menembak kami dengan peluru tajam, tolong bantu kami," kata ibu Zaw, Daw Htar.
Salah satu yang termuda yang tewas adalah Nay Myo Aung yang berusia 16 tahun. Dia berunjuk rasa bersama sepupunya di Mandalay pada hari Rabu ketika polisi dan militer membubarkan kerumunan dengan menggunakan gas air mata. Ketika para demonstran mulai membangun barikade, polisi Myanmar kemudian mulai menembakkan peluru karet, serta peluru tajam, kata sepupunya.
"Saya tertembak dengan dua peluru karet dan kemudian saya jatuh, lalu sepupu saya mencoba mengangkat saya dan saat itulah dia tertembak dengan peluru tajam," kata Hein Htet Aung, 17 tahun.
Nay Myo Aung dilarikan ke rumah sakit tetapi meninggal beberapa jam kemudian karena luka parah. Peluru menembus lengan kirinya dan menembus paru-parunya, kata dokter kepada keluarga tersebut.
Angel atau yang dikenal Kyal Sin (kedua kiri), berlindung sebelum ditembak di kepalanya saat pasukan Myanmar melepaskan tembakan untuk membubarkan demonstrasi anti-kudeta di Mandalay, Myanmar, 3 Maret 2021. Dari enam korban tewas itu, empat orang ditembak mati selama protes di sebuah kota di Myanmar. REUTERS/Stringer
Korban tewas lainnya adalah Ma Kyal Sin, yang dikenal dengan Angel. Mengenakan T-shirt bertuliskan "Semuanya akan baik-baik saja," Angel sering mengikuti protes antikudeta, menurut teman-temannya mengatakan kepada Reuters. Dia ditembak di kepala oleh pasukan keamanan selama protes anti-kudeta pada Rabu.
Sebelum dia keluar memprotes, penari dan juara taekwondo itu telah mengunggah catatan golongan darahnya, nomor kontak dan wasiat untuk menyumbangkan tubuhnya jika dia meninggal, ke media sosial, Reuters melaporkan.
Video momen terakhirnya menunjukkan dia berjongkok di jalan bersama pengunjuk rasa lainnya di Mandalay sebelum gas air mata dilemparkan dan peluru tajam ditembakkan.
Kepolisian Myanmar mengeluarkan pernyataan pada hari Jumat di Global New Light yang mengatakan bahwa mereka sedang menyelidiki kematian Ma Kyal Sin. Laporan itu mengatakan polisi menganalisis foto luka Angel dan menyimpulkan bahwa itu bukan cedera yang disebabkan oleh senjata anti huru hara.
"Senjata anti huru hara atau peluru tajam, tidak mungkin kepala korban dalam kondisi baik," klaim Kepolisian Myanmar.
Junta militer sebelumnya mengaku menahan diri terhadap pengunjuk rasa yang disebutnya "massa anarkis". Global New Light Of Myanmar yang dikelola negara mengatakan aparat akan menindak keras pengunjuk rasa yang rusuh.
Pada hari Jumat, Kepolisian Myanmar mengatakan dalam Global New Light, menuduh pengunjuk rasa menggunakan dua senjata yang diyakini sebagai granat asap ditemukan pada protes hari Rabu.
"Para pengunjuk rasa tidak lagi dalam tahap protes normal tetapi dipersenjatai dengan alat peledak dan melakukan kekerasan," kata laporan itu, tanpa memberikan bukti lebih lanjut.
Kelompok advokat untuk tahanan politik, Assistance Association for Political Prisoners, telah mengidentifikasi 48 orang yang tewas karena penumpasan kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Dari jumlah tersebut, setengahnya berusia di bawah 25 tahun, dengan 17 orang di bawah 20 tahun. Yang termuda baru berusia 14 tahun, kelompok itu melaporkan.
Pasukan keamanan berdiri di jalan selama protes anti-kudeta di Yangon, Myanmar, 4 Maret 2021. [REUTERS / Stringer]
John Quinley, Spesialis Senior Hak Asasi Manusia di Fortify Rights mengatakan banyak dari mereka yang melakukan protes adalah kaum muda berusia 20-an dan 30-an.
"Ini adalah generasi penerus Myanmar yang ingin negaranya dipimpin dan diperintah secara demokratis. Dan mereka ingin para pemimpinnya menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia," kata Quinley. "Dan inilah orang-orang yang sekarat di jalanan."
Kelompok hak asasi manusia mengatakan tingkat koordinasi dan penggunaan kekuatan yang digunakan oleh junta militer dalam protes baru-baru ini menunjukkan bahwa mereka tidak lagi berniat untuk membubarkan pengunjuk rasa sebagai bentuk pengendalian massa.
"Penggunaan kekuatan yang berlebihan dan mematikan yang serupa oleh pasukan keamanan di kota-kota di seluruh negeri menunjukkan koordinasi antara unit dan strategi nasional yang menyeluruh," kata kelompok hak asasi Fortify Rights pada Kamis.
"Ini bukan taktik yang tidak mematikan untuk membubarkan pengunjuk rasa. Ini adalah serangan terhadap pengunjuk rasa damai di seluruh negeri," kata Quinley. "Dan ini bukan teknik pengendalian massa, ini serangan terhadap warga sipil dan orang-orang yang memprotes kudeta militer."
Baca juga: Seorang Demonstran Myanmar Tewas Ditembak Aparat di Bagian Leher
Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, Tom Andrews, mengatakan melihat adanya perintah agar polisi dan tentara militer menembak mati pengunjuk rasa.
"Mereka menggunakan shotgun 12-gauge, mereka menggunakan senapan 38 mm, mereka menggunakan senapan semi-otomatis melawan pengunjuk rasa damai yang tidak menimbulkan ancaman bagi mereka," katanya.
Meski berbahaya, pengunjuk rasa terus kembali ke jalan. Pada hari Jumat, polisi menembaki para demonstran di Mandalay yang menewaskan seorang pemuda, menurut Reuters, mengutip para saksi.
Di Yangon, demonstran Myanmar membangun kembali barikade dan di negara bagian Shan, Lashio, kerumunan orang menyanyikan lagu-lagu dan mengacungkan salam tiga jari.
CNN | REUTERS