TEMPO.CO, Jakarta - Situasi yang kian ganas di Myanmar, di mana hingga memicu pertumpahan darah, ternyata tidak diprediksi oleh Militer Myanmar. Menurut Utusan Khusus PBB, Christine Schraner Burgener, Militer Myanmar mengira kudeta mereka akan berjalan mulus dan rakyat dengan anteng akan menunggu hingga pemilu baru dilaksanakan. Adapun hal itu, kata Burgener, terungkap setelah ia berbicara dengan para pejabat Militer Myanmar.
"Mereka sangat terkejut bahwa rencananya untuk mengembalikan kepemimpinan militer tanpa perlawanan rakyat tidak berjalan sesuai rencana," ujar Burgener, dikutip dari Channel News Asia, Kamis, 4 Maret 2021.
Meski terkejut akan perlawanan yang ada, Burgener mengatakan Militer Myanmar tetap lanjut dengan rencana kudetanya. Adapun Militer Myanmar memiliki lima rencana selama kudeta. Hal itu, kata ia, mulai dari reformasi Komite Penyelenggara Pemilu hingga menyelenggarakan pemilu baru.
Burgener berkata, Militer Myanmar sama sekali tidak mempertimbangkan skenario rencananya gagal gara-gara sanksi. Sebab, sejak awal mereka sudah memprediksi akan mendapat sanksi begitu melakukan kudeta. Alhasil, begitu kudeta dijalankan, mereka tidak peduli lagi apakah akan mendapat sanksi atau tidak. Bahkan, kata Burgener, Militer Myanmar yakin bakal tetap memiliki sekutu di tengah tekanan yang ada.
"Ketika saya memperingatkan mereka, jawaban mereka adalah mereka sudah terbiasa dengan sanksi dan selama ini berhasil bertahan. Ketika saya peringatkan mereka bisa dikucilkan, Militer Myanmar menjawab mereka akan belajar untuk bertahan dengan sedikit teman," ujar Burgener terheran-heran.
Angel atau yang dikenal Kyal Sin, 19 tahun, berlindung sebelum ditembak di kepalanya saat pasukan Myanmar melepaskan tembakan untuk membubarkan demonstrasi anti-kudeta di Mandalay, Myanmar, 3 Maret 2021. Setidaknya enam orang tewas ketika pasukan keamanan Myanmar menembaki pengunjuk rasa pro-demokrasi. REUTERS/Stringer
Perihal warga Myanmar yang konsisten melakukan perlawanan, Burgener mengaku tidak heran. Mayoritas Gerakan Pemberontakan Sipil diorganisir oleh remaja-remaja Myanmar. Mereka, kata Burgener, sudah terbiasa hidup bebas dengan mereka tidak mau kembali ke masa-masa pemerintahan junta militer.
"Mereka terorganisir dengan baik dan benar-benar teguh dengan niatannya mencegah Myanmar kembali ke rezim diktator dan terisolasi dari komunitas internasional," ujarnya menegaskan.
Burgener berharap komunitas internasional tergerak untuk bersama-sama menghukum Militer Myanmar. Menurutnya, sanksi secara kolektif akan lebih efektif untuk mendesak Militer Myanmar menghentikan kudeta, membebaskan para tahanan, dan mengembalikan demokrasi.
"Saya meminta komunitas internasional untuk bersatu, untuk mengambil sikap yang tepat. Sanksi dari DK PBB, yang diimplementasikan seluruh negara anggota, akan lebih kuat dibanding sanksi dari satu negara saja," ujar Burgener menegaskan.
Per berita ini ditulis, pihak yang sudah menjatuhkan sanksi kepada Myanmar adalah Amerika, Inggris, Kanda, dan Uni Eropa. Amerika malah belum lama ini menjatuhkan hukuman baru, pemblokiran aktivitas dagang Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, dan dua konglomerasi Militer Myanmar.
Sanksi terbaru itu sebagai respon atas pembantaian yang terjadi di Myanmar akhir-akhir ini. Menurut laporan Kantor HAM PBB, Militer Myanmar sudah membunuh 54 orang dan menangkap lebih dari 1700 orang selama kudeta berlangsung.
Baca juga: Diancam Sanksi Karena Kudeta, Junta Militer Myanmar: Kami Sudah Biasa
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA