TEMPO.CO, Jakarta - Rencana para menteri luar negeri ASEAN tidak jadi membuat deklarasi bersama terkait Myanmar. Dikutip dari Channel News Asia, para menteri luar negeri ASEAN pada akhirnya memilih untuk membuat pernyataan masing-masing usai menggelar rapat terkait kudeta Myanmar.
Meski tidak berhasil membuat deklarasi bersama sesuai usulan Brunei Darussalam, para menteri luar negeri ASEAN tetap memandang kudeta Myanmar perlu segera diakhiri. Adapun mereka mengusulkan jalur damai untuk menyelesaikan krisis di Myanmar. Selain itu, mereka juga menggarisbawahi soal jangan sampai ada intervensi berlebih.
"Kami khawatir akan situasi di Myanmar dan meminta segala pihak untuk menahan diri dan tidak lagi memicu aksi kekerasan. Kami mengharapkan solusi damai melalui dialog yang konstruktif," ujar pernyataan Pemerintah Brunei pada Selasa malam, 2 Maret 2021.
Brunei melanjutkan pada pernyataannya bahwa para menteri luar negeri ASEAN juga meminta tahanan politik untuk dibebaskan. Adapun para menteri luar negeri, kata Pemerintah Brunei, mengusulkan utusan khusus PBB sebagai mediator dalam proses pembebasan itu. Sebagai catatan, kurang lebih ada 500 orang yang telah ditahan oleh junta Myanmar.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi juga menyampaikan sikap senada, mendesak kudeta diakhiri. Ia menyebut situasi di Myanmar mengkhawatirkan karena jumlah korban jiwa dan luka-luka terus bertambah seiring dengan terus berlangsungnya demonstrasi di sana. Ia berkata, situasi tersebut bisa mengancam proses kembalinya demokrasi.
Meski mendesak kudeta Myanmar untuk segera diakhiri, Retno Marsudi juga mengingatkan agar para menteri luar negeri menghormati piagam ASEAN. Terutama. kata ia, soal prinsip "non-interference".
"Pertemuan ASEAN ini bertujuan untuk mencari solusi. Namun, tentu harus ada niatan dari Myanmar juga. Niat baik ASEAN untuk menuntaskan krisis di Myanmar tidak akan bisa diimplementasikan apabila Myanmar tidak membuka pintu," ujar Retno yang sempat bertemu Menteri Luar Negeri Myanmar, Kolonel Wunna Maung Lwin.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat memberikan keterangan pers soal Myanmar. dok. Kemenlu RI
Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, setuju bahwa prinsip "non-interference" pada piagam ASEAN harus dipatuhi. Namun, menurutnya, hal itu bukan berarti negara-negara anggota ASEAN tidak bisa aktif mendorong restorasi demokrasi di Myanmar.
Menurut Balakrishnan, negosiasi soal pengakhiran kudeta di Myanmar perlu segera dimulai. Namun, menurut ia, Myanmar perlu lebih dulu membebaskan para tahanan politik, terutama Penasehat Negara Aung San Suu Kyi.
"Pembebasan Aung San Suu Kyi dan tahanan politik lainnya adalah satu-satunya cara untuk memicu negosiasi dan memulai transisi kembalinya demokrasi," ujar Balakrishnan.
Pernyataan Balakrishnan mendapat dukungan dari Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein. Ia berkata, para negara anggota ASEAN tetap bisa berperan proaktif tanpa melanggar piagam ASEAN.
"Penting bagi ASEAN untuk secara konstruktif berkomunikasi dengan Myanmar dan seluruh pemegang kepentingan untuk menunjukkan betapa efektifnya ASEAN sebagai kelompok regional (dalam penyelesaian krisis)," ujar Hishammuddin sebelum pertemuan para menteri luar negeri ASEAN Selasa kemarin.
Per berita ini ditulis, kudeta di Myanmar sudah berlangsung selama sebulan lebih. Sepanjang kudeta, berbagai hal telah terjadi mulai dari penembakan warga hingga penahanan para pejabat pemerintahan. Beberapa negara Barat sudah memberikan sanksi ke figur-figur Militer Myanmar untuk mendesak pengakhiran kudeta di sana.
Baca juga: Retno Marsudi Suarakan Keprihatinan Kondisi di Myanmar
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA