TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Myanmar yang dikudeta militer, Win Myint, menghadapi dua dakwaan baru, termasuk pelanggaran konstitusi yang dapat dihukum hingga tiga tahun penjara, kata pengacaranya Khin Maung Zaw pada Rabu.
Win Myint ditangkap pada 1 Februari bersama dengan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi hanya beberapa jam sebelum militer merebut kekuasaan. Win Myint juga menghadapi dakwaan karena melanggar protokol kesehatan untuk menghentikan penyebaran virus corona, dikutip dari Reuters, 3 Maret 2021.
Pengacara Khin Maung Zaw mengatakan tanggal persidangan Win Myint tidak diketahui.
Sementara Aung San Suu Kyi muncul di sidang pengadilan melalui konferensi video pada Senin kemarin, ketika para pendukungnya turun ke jalan di beberapa kota sehari setelah polisi menembak mati 18 pengunjuk rasa pada Ahad.
Presiden Myanmar Win Myint berpidato di depan Bay of Bengal Initiative for Multi-Sectoral Technical and Economic Cooperation (BIMSTEC) di Kathmandu, Nepal, 30 Agustus 2018. [REUTERS / Navesh Chitrakar / Pool]
Dilaporkan Reuters, Aung San Suu Kyi, 75 tahun, terlihat dalam keadaan sehat selama penampilannya di depan pengadilan di ibu kota Naypyidaw, kata salah satu pengacaranya. Dua dakwaan lagi ditambahkan pada tuntutan yang diajukan terhadapnya setelah kudeta, katanya.
"Saya melihat Amay di video, dia terlihat sehat," kata pengacara Min Min Soe kepada Reuters, menggunakan istilah sayang yang berarti "ibu" untuk memanggil Suu Kyi. "Dia meminta untuk bertemu dengan pengacaranya."
Peraih Nobel Perdamaian, yang memimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), tidak terlihat di depan umum sejak pemerintahannya digulingkan dan dia ditahan bersama dengan para pemimpin partai lainnya, termasuk Presiden Win Myint.
Suu Kyi awalnya dituduh mengimpor enam radio walkie-talkie secara ilegal. Belakangan, tuduhan melanggar undang-undang bencana alam dengan melanggar protokol virus corona ditambahkan.
Pada hari Senin, dua dakwaan lagi ditambahkan, satu di bawah bagian dari hukum pidana era kolonial yang melarang publikasi informasi yang dapat "menyebabkan ketakutan atau mengganggu ketertiban", yang lain di bawah undang-undang telekomunikasi yang mengatur lisensi untuk peralatan, kata pengacaranya.
Sidang berikutnya akan diadakan pada 15 Maret. Para pengkritik kudeta mengatakan tuduhan itu dibuat-buat.
Anti-coup protesters hold a sit-in protest at South Okkalapa township in Yangon on Wednesday morning. #WhatsHappeningInMyanmar pic.twitter.com/lTCWyxmR5V
— Myanmar Now (@Myanmar_Now_Eng) March 3, 2021
Pada Rabu protes terhadap kudeta militer di Myanmar tidak menunjukkan tanda-tanda mereda dengan lebih banyak massa yang berunjuk rasa.
Pasukan keamanan melepaskan tembakan peringatan ke udara ketika pengunjuk rasa berkumpul di satu lokasi di ibu kota komersial Yangon pada Rabu pagi, menurut seorang jurnalis di tempat kejadian, Reuters melaporkan.
Sedikitnya 21 orang telah tewas sejak kudeta 1 Februari melawan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis, dan polisi melepaskan tembakan untuk membubarkan massa pada hari Selasa.
Baca juga: Junta Myanmar dan Kubu Aung San Suu Kyi Berebut Pos Dubes PBB, Siapa yang Sah?
Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) gagal membuat terobosan dalam pertemuan virtual 10 menteri luar negeri untuk menyelesaikan krisis Myanmar. Hanya empat anggota ASEAN: Indonesia, Malaysia, Filipina dan Singapura, yang menyerukan pembebasan tahanan termasuk Suu Kyi.
"Kami menyatakan kesiapan ASEAN untuk membantu Myanmar dengan cara yang positif, damai dan konstruktif," kata pernyataan ketua ASEAN Brunei.
Media pemerintah Myanmar pada hari Rabu mengatakan menteri luar negeri yang ditunjuk militer menghadiri pertemuan ASEAN untuk "bertukar pandangan tentang masalah regional dan internasional", tetapi tidak menyebutkan tujuan pembicaraan tersebut.
Militer Myanmar membenarkan kudeta tersebut dengan mengatakan keluhannya tentang kecurangan pemilu 8 November 2020 diabaikan. Partai Aung San Suu Kyi memenangkan pemilihan dengan telak, mendapatkan masa jabatan lima tahun kedua. Komisi pemilihan umum Myanmar mengatakan pemungutan suara berlangsung adil.
REUTERS