TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia mengaku sangat prihatin dengan meningkatnya kekerasan di Myanmar setelah belasan orang tewas dalam demonstrasi Ahad.
Polisi menembaki pengunjuk rasa pada Ahad yang menewaskan 18 korban jiwa, menjadikannya sebagai hari paling berdarah sejak protes kudeta 1 Februari dimulai.
"Polisi dan pasukan militer telah menghadapi demonstrasi damai, menggunakan kekuatan yang mematikan dan menurut informasi yang dapat dipercaya yang diterima oleh Kantor Hak Asasi Manusia PBB, telah menyebabkan sedikitnya 18 orang tewas dan lebih dari 30 luka-luka," kata kantor HAM PBB, dikutip dari Reuters.
Kementerian Luar Negeri RI menyampaikan duka cita dan belasungkawa kepada korban dan keluarganya.
"Indonesia menyerukan agar aparat keamanan tidak menggunakan kekerasan dan menahan diri guna menghindari lebih banyak korban jatuh serta mencegah situasi tidak semakin memburuk," tulis pernyataan Kemenlu RI pada Ahad.
Indonesia telah memimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dalam upaya menyelesaikan krisis di Myanmar, setelah tentara merebut kekuasaan dan menahan pemimpin pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi bersama sebagian besar pimpinan partainya.
RI sempat diprotes pengunjuk rasa penentang kudeta Myanmar setelah laporan Reuters yang menyebut RI menggagas rencana aksi ASEAN untuk memastikan junta militer menggelar pemilu yang adil. Rakyat Myanmar telah menolak rencana pemilu baru dan ingin hasil pemilu 8 November dihormati.
Baca juga: Dukung Rakyat Myanmar, Aktivis Indonesia Gelar Aksi Pukul Panci
Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, membantah kabar tersebut dan mengeaskan Indonesia tidak membuat keputusan seperti itu. "Sejauh ini belum ada perubahan sikap dari Indonesia soal situasi Myanmar," kata Kemenlu.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan pada Rabu telah mengadakan pembicaraan intensif dengan militer Myanmar dan perwakilan dari pemerintah terpilih Myanmar yang dikudeta.
REUTERS | KEMLU RI