TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan, pada Selasa, 16 Maret 2021, menyuarakan kekhawatiran atas kondisi politik yang terjadi di Myanmar. Balakrishnan sungguh berharap orang-orang yang ditahan, termasuk pemimpin de factor Myanmar Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint, bisa dibebaskan.
Kekuasaan Myanmar saat ini dipegang oleh militer, yang mengkudeta Pemerintahan Suu Kyi dan Win Myint pada 1 Februari 2021 lalu. Balakrishnan berharap dengan pembebasan orang-orang yang ditahan dalam kudeta tersebut, bisa tercipta negosiasi dengan pemerintahan militer yang berkuasa saat ini.
Sebagai investor terbesar, Singapura disebut Balakrishnan tidak bisa menutupi keresahan atas kekerasan yang terjadi dalam unjuk rasa – unjuk rasa, penahanan warga sipil, pemutusan sambungan internet dan pengerahan tentara serta kendaraan lapis baja ke jalan-jalan.
“Ini semua kondisi yang memberikan peringatan. Kami mendesak otoritas-otoritas agar menahan diri sepenuhnya. Tidak boleh ada kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersenjata,” kata Balakrishnan.
Baca juga: Kudeta Militer Myanmar, Retno Marsudi Minta Keselamatan Warga Prioritas
Menurut Balakrishnan, Singapura sangat berharap otoritas di Myanmar bisa mengambil langkah-langkah penting untuk meredakan ketegangan di Myanmar saat ini dan tercipta resolusi damai.
Balakrishnan menilai partai yang didirikan Suu Kyi telah mendapat kemenangan dalam pemilu November 2020 lalu dan kudeta yang terjadi adalah sebuah kemunduran besar bagi perekonomian Myanmar. Kondisi ini bisa membuat pengusaha-pengusaha asal Singapura mengevaluasi profil risiko bisnis mereka dari dampak apa yang sedang terjadi di negara itu.
Singapura sejauh ini belum mendukung penjatuhan sanksi ke Myanmar karena bisa mencederai masyarakat negara itu. Myanmar adalah salah satu negara miskin di Asia Tenggara. Amerika Serikat dan Inggris saat ini telah menjadi beberapa negara yang mengancam akan menjatuhkan sanksi menyusul kudeta militer di Myanmar.
Sumber: Reuters