TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan resolusi PBB untuk krisis Myanmar secara resmi diajukan oleh Inggris dan Uni Eropa pada Kamis, sehari sebelum Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengadakan sesi khusus tentang krisis yang dipicu oleh kudeta militer 1 Februari.
Sejauh ini 22 dari 47 negara anggota forum telah mensponsori teks tersebut, menurut perwakilan Inggris untuk PBB di Jenewa, Reuters melaporkan, 12 Februari 2021.
Cina dan Rusia, yang memiliki hubungan dekat dengan militer Myanmar, telah melobi untuk melunakkan bahasa dalam teks resolusi itu, kata para diplomat. Para pengusul berharap bahwa sebuah teks dapat diadopsi dengan suara bulat untuk mengirimkan sinyal yang kuat, kata diplomat.
"Kami yakin bahwa resolusi itu mendapat dukungan untuk disahkan," kata seorang diplomat Barat, dikutip dari Reuters.
Bahasa dalam resolusi Eropa tampak agak lebih halus dari rancangan awal yang diedarkan secara informal yang akan mengutuk kudeta.
Teks terbaru "sangat menyesalkan" kudeta tersebut, tetapi masih menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi dan pejabat lainnya, serta akses bagi pemantau hak asasi manusia PBB ke Myanmar.
Amerika Serikat, yang kembali bergabung ke Dewan HAM PBB minggu ini, termasuk di antara pemantau yang mendukung permintaan untuk mengadakan sesi tersebut.
Baca juga: Cina Bantah Kirim Pesawat Untuk Bantu Kudeta Militer Myanmar
Presiden AS Joe Biden mengatakan pada hari Rabu bahwa dia telah menyetujui perintah eksekutif yang membuka jalan bagi sanksi baru AS terhadap pemimpin kudeta Min Aung Hlaing dan rekan-rekan jenderalnya atas kudeta militer Myanmar.
Protes kudeta telah ditindak keras oleh polisi ketika seorang perempuan berusia 20 tahun kritis ditembak di bagian kepala.
Pelapor Khusus Dewan HAM PBB, Tom Andrews, seorang ahli hak asasi manusia independen, memperingatkan bahwa semua anggota pasukan keamanan, apapun pangkatnya, memiliki kewajiban berdasarkan hukum internasional untuk tidak menggunakan kekuatan yang berlebihan, dan bahwa mereka berisiko dituntut jika melakukannya.
"Personel militer dan polisi Myanmar perlu tahu bahwa 'mengikuti perintah' bukanlah alasan pembelaan diri untuk melakukan kekejaman dan pembelaan semacam itu akan gagal, terlepas dari tempat mereka dalam rantai komando,” katanya pada Rabu, dikutip dari UN News.
"Petugas, apapun pangkatnya, dapat dianggap bertanggung jawab secara pidana atas kejahatan internasional, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang melibatkan pembunuhan, penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan," tegas pakar hak asasi manusia itu.
Sebuah spanduk yang dipasang di Yangon pada 10 Februari 2021, menunjukkan seorang pengunjuk rasa perempuan yang terluka oleh luka tembak di kepala ketika polisi menindak pengunjuk rasa pada 9 Februari 2021 di Naypyitaw, Myanmar. [REUTERS / Stringer]
Kudeta dan penahanan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi bersama dengan sejumlah orang lainnya telah memicu demonstrasi terbesar sejak Revolusi Saffron 2007 yang akhirnya menjadi langkah menuju perubahan demokrasi.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing menyampaikan pidato untuk pertama kalinya di depan umum, menyalahkan "orang-orang yang tidak bermoral" atas pembangkangan sipil yang dimulai oleh petugas medis, guru, pekerja kereta api dan pegawai pemerintah lainnya, Reuters melaporkan.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh layanan informasi militer, dia juga mendesak masyarakat untuk menghindari pertemuan, yang menurutnya akan memicu penyebaran virus corona.
Para pengunjuk rasa berkumpul di seluruh negeri pada hari Kamis.
Ratusan pekerja berbaris di jalan di ibu kota Naypyitaw, meneriakkan slogan-slogan anti-junta dan membawa slogan yang mendukung Suu Kyi. Ribuan orang berdemonstrasi di kota utama Yangon.
Ratusan pengunjuk rasa juga berdemonstrasi di luar kedutaan besar Cina, menuduh Beijing mendukung junta militer meskipun Cina menyangkal. Mereka juga membawa foto Aung San Suu Kyi, menuntut dia serta aktivis pro demokrasi Myanmar lainnya dibebaskan.
REUTERS | UN NEWS