TEMPO.CO, - Mahkamah Agung Pakistan memutuskan melarang hukuman mati pada tahanan yang memiliki penyakit mental serius, terutama mereka yang tidak memahami tujuan dari hukiman tersebut. Hakim beralasan eksekusi mati terhadap tahanan ini tidak akan memenuhi tujuan keadilan.
Keputusan itu dikeluarkan pada Rabu kemarin setelah lima anggota hakim sebelumnya mengesampingkan hukuman mati dalam banding tiga tahanan yang memiliki penyakit mental.
"Jika narapidana yang dihukum karena penyakit mental ternyata tidak dapat memahami alasan dan alasan di balik hukumannya, maka menjalankan hukuman mati tidak akan memenuhi tujuan keadilan,” bunyi keputusan Mahkamah Agung Pakistan itu dikutip dari Aljazeera, Kamis, 12 Februari 2021.
Pakistan adalah salah satu negara yang paling produktif dalam menjatuhkan vonis hukuman mati di seluruh dunia. Pada 2019, ada lebih dari 4.225 orang terpidana mati di negara itu, menurut laporan tahunan kelompok hak asasi manusia Amnesty International.
Baca juga: Amerika Serikat Kecam Pembebasan Pembunuh Jurnalis Oleh Pakistan
KUHP Pakistan menjatuhkan hukuman mati untuk lebih dari 33 kejahatan, mulai dari pembunuhan, pemerkosaan berkelompok dan penculikan, penistaan, dan perzinahan.
Pada 2019, pengadilan negara menjatuhkan lebih dari 632 hukuman mati, yang merupakan 27,3 persen dari semua hukuman mati di seluruh dunia tahun itu, menurut data Amnesty.
Putusan hari Rabu disambut oleh kelompok hak asasi karena melindungi hak-hak mereka yang dianggap rentan terhadap penyalahgunaan sistem peradilan.
"[Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan] menyambut baik keputusan Mahkamah Agung hari ini yang mengakui bahwa tahanan dengan penyakit mental adalah yang paling rentan dan tidak dapat dieksekusi dengan hati nurani yang baik," kata kelompok hak asasi terkemuka negara itu dalam sebuah pernyataan.
Direktur Eksekutif Justice Project Pakistan, Sarah Belal, memuji ketentuan dalam putusan yang mengharuskan pembaruan bahasa dalam hukum pidana Pakistan serta pelatihan kepekaan lebih lanjut untuk otoritas penjara dan polisi tentang masalah penyakit mental. “Keputusan tersebut menandai babak baru dalam yurisprudensi menangani narapidana yang sakit jiwa," ucap dia.