TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Republik Indonesia bisa menggunakan saluran backdoor diplomacy untuk menyelesaikan krisis di Myanmar, menurut pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana.
Pada 1 Februari 2021, militer Myanmar melakukan penangkapan dini hari terhadap Aung San Suu Kyi dan pemimpin sipil lain dalam upaya kudeta militer dan mengumumkan status darurat nasional.
Tokoh pemerintahan yang baru terpilih ditangkap setelah militer menuduh ada kecurangan pemilu 8 November 2020, di mana partai NLD Aung San Suu Kyi menang telak. Komisi pemilihan umum Myanmar membantah ada kecurangan signifikan.
Negara-negara ASEAN berbeda pendapat menyikapi kudeta Myanmar. Kamboja, Thailand, dan Filipina, memilih tidak mencampuri urusan di Myanmar, sementara Indonesia, Malaysia, dan Singapura, mengungkapkan keprihatinan dan menyerukan dialog.
"Melihat situasi demikian, negara-negara ASEAN tidak dapat berbuat banyak mengingat prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri negara anggota," kata Profesor Hikmahanto Juwana, pengamat hukum internasional dan rektor Universitas Jenderal Ahmad, dalam pernyataan yang diterima Tempo, 10 Februari 2021.
Polisi menembakkan meriam air ke arah pengunjuk rasa yang melakukan unjuk rasa menentang kudeta militer dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, di Naypyitaw, Myanmar, 9 Februari 2021.[REUTERS / Stringer]
Hikmahanto mengatakan sikap Indonesia tepat dengan menyerukan dialog untuk penyelesaian damai, namun menurutnya, langkah ini jauh dari cukup untuk mencegah kekerasan di Myanmar berlanjut. Indonesia selaku sahabat Myanmar perlu melakukan upaya lebih untuk meredakan kekerasan yang mungkin meningkat.
"Salah satunya adalah pemerintah Indonesia perlu melakukan backdoor diplomacy. Diplomasi yang tidak menggunakan saluran formal, melainkan pendekatan informal melalui tokoh-tokoh berpengaruh di kedua negara," kata Hikmahanto.
Baca juga: Reporter PBB: Sanksi Ekonomi ke Militer Myanmar Bakal Efektif
"Indonesia perlu menyampaikan ke Myanmar bahwa di era saat ini penggunaan kekerasan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sudah tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat internasional, dan dapat berujung pada pelanggaran HAM yang akan dipertanggungjawabkan secara hukum pidana internasional."
Bahkan, lanjut Hikmahanto, bila kekerasan berlanjut bukan tidak mungkin masyarakat internasional di bawah naungan PBB turun tangan dengan intervensi bersenjata yang disebut sebagai Responsibility to Protect.
"Terlebih lagi penggunaan kekerasan akan berdampak pada perekonomian Myanmar yang sudah berkembang pesat dalam mengejar ketertinggalan dengan negara-negara ASEAN lainnya," papar Hikmahanto.
Ribuan massa menggelar aksi unjuk rasa memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, 7 Februari 2021. REUTERS/Stringer
Pada Rabu protes kudeta militer berlanjut setelah sehari sebelumnya polisi bertindak keras terhadap massa.
Ribuan orang bergabung dalam demonstrasi di kota utama Yangon. Di ibu kota Naypyitaw, ratusan pegawai pemerintah berbaris untuk mendukung kampanye pembangkangan sipil yang terus meluas, yang dimulai oleh petugas kesehatan.
Seorang dokter mengatakan seorang pengunjuk rasa diperkirakan meninggal karena luka tembak di kepala dalam protes Selasa. Dia terluka ketika polisi menembakkan senjata, yang sebagian besar tembakan diarahkan ke udara, untuk menertibkan pengunjuk rasa di Naypyitaw. Tiga orang lainnya sedang dirawat karena luka akibat peluru karet yang dicurigai, kata dokter, dikutip dari Reuters, 10 Februari 2021.
Junta militer telah memberlakukan pembatasan pertemuan dan jam malam di kota-kota terbesar Myanmar.
Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk penggunaan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa, yang menuntut pembatalan kudeta dan pembebasan Suu Kyi serta para pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan aktivisnya yang ditahan.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan sedang meninjau bantuan ke Myanmar untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kudeta menghadapi "konsekuensi yang signifikan".
REUTERS