TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, meyakinkan setiap negara memiliki pertimbangan masing-masing dalam menyikapi perkembangan politik di Myanmar.
Ucapan itu tercetus menyusul sikap Selandia Baru yang menangguhkan semua kontak tingkat tinggi dengan Myanmar dan memberlakukan larangan perjalanan pada para pemimpin militer Myanmar.
Baca juga: Warga Myanmar Janji Lanjutkan Unjuk Rasa Lawan Kudeta Militer
Teuku Faizasyah, Plt Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI. Sumber: Suci Sekar/TEMPO
Myanmar saat ini diguncang kudeta militer. Hal itu dimulai dengan menangkap sejumlah pejabat negara yang berlanjut pada pemecatan beberapa menteri. Salah satu pejabat yang ditahan oleh Militer Myanmar adalah Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, yang juga berperan sebagai pemimpin de facto di Myanmar.
“Sebagaimana yang disampaikan Presiden RI Joko Widodo saat memberikan keterangan Pers setelah bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yasin, bahwa yang didorong saat ini adalah pertemuan khusus Menlu-Menlu ASEAN untuk membicarakan perkembangan ini dan isu-isu strategis lainnya,” kata Faizasyah.
Menurutnya, pandangan ASEAN yang terjebak pada kebijakan non-intervensi dan desakan menghormati demokrasi seperti tercantum pada pasal 2 (f) dan (h) Piagam ASEAN, tidak tepat. Sebab pilar politik kerjasama ASEAN adalah membuka ruang untuk para anggota untuk membahas atau berbagi (sharing informasi) tentang perkembangan politik di setiap negara ASEAN.
Sebelumnya pada Jumat, 5 Februari 2021. Presiden Jokowi mengutarakan harapan agar masalah yang tengah dihadapi Myanmar dapat segera selesai.
Menurut Jokowi, hukum yang ada harus ditaati untuk mewujudkan visi komunitas ASEAN. Dia pun menegaskan penting bagi seluruh negara ASEAN untuk terus menghormati prinsip-prinsip piagam ASEAN.
"Kita prihatin dengan perkembangan politik di Myanmar dan berharap perbedaan politik itu dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku," kata Jokowi usai pertemuan dengan PM Muhyiddin.