TEMPO.CO, Jakarta - Reporter Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Tom Andrews, menyakini sanksi ekonomi dan diplomatik terhadap figur militer akan efektif untuk mengakhiri kudeta di Myanmar. Sebab, kata ia, militer Myanmar tidak memiliki tekad sekuat bayangan orang.
Di sisi lain, sanksi ekonomi dan diplomatik sudah pernah digunakan sebelumnya dan berhasil. Oleh karenanya, menurut Andrews, tidak ada salahnya kedua sanksi tersebut dipakai lagi untuk merespon kudeta Myanmar.
"Kita tahu di masa lalu militer Myanmar mengatakan mereka tidak akan terpengaruh tekanan internasional. Kenyataan menunjukkan sebaliknya. Mereka peduli, mereka butuh terlibat dalam ekonomi internasional," ujar Andrews, dikutip dari Channel News Asia, Selasa, 9 Februari 2021.
Andrews berkata, militer Myanmar pada dasarnya tetap ingin mendapat keuntungan dari status baru mereka. Mereka berharap bisa mendulang uang dan lebih sejahtera dengan menguasai pemerintahan. Jika bantuan ekonomi dan investasi ke sana dihentikan untuk waktu yang lama, kata Andrews, militer Myanmar tidak akan memiliki pilihan selain berkompromi.
Warga Myanmar di Thailand menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kedutaan Besar Myanmar di Bangkok pasca kudeta militer Myanmar, pada 1 Februari 2021. Mereka membawa potret Jenderal Min Aung Hlaing yang dicoret dengan tulisan "Memalukan, Diktator. Kami Tidak Akan Memaafkanmu". REUTERS/Athit Perawongmetha
Sebagai catatan, pekan lalu Justice for Myanmar berpendapat bahwa Jenderal Militer Min Aung Hlaing menggunakan kudeta untuk menggolkan kepentingan bisnisnya juga. Sebab, selama ini, Min Aung Hlaing membantu perusahaan-perusahaan anaknya untuk mengakses sumber daya pemerintah.
Sebagai panglima angkatan bersenjata, Min Aung Hlaing sendiri memiliki kuasa atas dua kelompok bisnis terbesar di Myanmar. Mereka adalah Myanmar Economic Corporation (MEC) dan Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL). Mereka menangani investasi di berbagai sektor mulai dari timah, tembaga, telekomunikasi, dan garmen.
Jika demokratisasi sampai terjadi di Myanmar, hal itu berpotensi mengancam bisnis Min Aung Hlaing. Data pejabat publik akan bersifat lebih transparan yang memungkinkan warga untuk mendesak penindakan terhadap bisnis-bisnis keluarganya. Itu lah yang dianggap Justice for Myanmar menjadi salah satu motivasi kudeta Myanmar.
Key to the Myanmar coup is army leader Gen Min Aung Hlaing, who was near forced retirement, had "no clear way to maintain his current level of" power and profit, and is "one of the most wanted men on the planet" for leading atrocities against the Rohingya. https://t.co/esVgraaTtI pic.twitter.com/ffgDYlIjFI
— Kenneth Roth (@KenRoth) February 1, 2021
"Saya tahu berbagai pemimpin negara tengah mendiskusikan aplikasi sanksi ekonomi baru ke Myanmar. Menurut saya itu langkah terbaik."
"Jangan sampai ada sinyal yang salah dari negara-negara tetangga. Penting bagi militer Myanmar untuk tahu bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakannya," ujar Andews menegaskan.
Salah satu negara yang telah memberikan sanksi adalah Amerika. Ketika mereka menyatakan aksi militer Myanmar sebagai "Kudeta", otomatis dana bantuan ke negara itu dihentikan. Terutama, yang ditujukan kepada pemerintahan. Namun, Amerika memiliki kekhawatiran Cina akan memanfaatkan situasi Myanmar untuk memperkuat pengaruh di Asia Tenggara.
Per berita ini ditulis, kudeta Myanmar sudah berjalan lebih dari sepekan. Puluhan ribu warga, sejak Sabtu pekan lalu, menggelar serangkaian unjuk rasa untuk memprotes kudeta tersebut. Mereka menuntut tiga hal yaitu diakhirinya kudeta, diberlakukannya demokrasi, dan dibebaskannya tahanan politik seperti Penasehat Negara Aung San Suu Kyi.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Akhirnya Beri Pernyataan Soal Kudeta dan Unjuk Rasa
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA