TEMPO.CO, Jakarta - Bagi Militer Myanmar, Facebook adalah musuh. Platform media sosial bentukan Mark Zuckerberg itu digunakan nyaris separuh populasi Myanmar. Dengan jumlah pengguna lebih dari 50 juta orang, Facebook bisa menjadi alat perlawanan yang ampuh jika digunakan dengan benar. Tidak ingin hal tersebut terjadi, Facebook pun diblokir pada hari Kamis kemarin.
Deputi Direktur Human Rights Watch Asia, Phil Robertson, mengatakan bahwa Militer Myanmar sudah lama memandang Facebook sebagai masalah. Selama bertahun-tahun platform itu tak hanya digunakan sebagai kanal perlawanan, tetapi juga menerapkan kebijakan tegas yang menyasar ke militer. Alhasil, penutupan Facebook menjadi hal prioritas ketika Kudeta Myanmar digelar.
"Seiring dengan makin banyaknya warga Myanmar yang beralih ke online untuk meroganisir kampanye pemberontakan sipil, menutup akses menjadi prioritas utama," ujar Robertson, dikutip dari Channel News Asia, Jumat, 5 Februari 2021.
Facebook memang memiliki banyak cerita di Myanmar, terutama dnegan militernya. Di tahun 2018, Facebook menutup akun Jenderal Militer Min Aung Hlaing beserta 19 pejabatnya. Tak berhenti di situ, Facebook juga menghapus ratusan postingan Militer Myanmar atas alasan penipuan yang terkoordinir. Sebagaimana diketahui, Min Aung Hlaing belakangan menjadi pelaku kudeta Myanmar.
Ketika Pemilu Myanmar akan digelar pada November tahun lalu, Facebook lagi-lagi berurusan dengan militer Myanmar yang dikenal juga sebagai Tatmadaw. Sepanjang periode pemilu, Facebook menghapus 70 akun yang dioperasikan oleh personil militer Myanmar. Alasan disinformasi dan misinformasi kembali jadi alasan.
Baca juga: Myanmar Blokir Media Sosial, Rakyat Andalkan VPN dan Signal
Penutupan oleh Facebook tak serta merta menghentikan militer Myanmar. Sebelum kudeta Myanmar terjadi dan kemudian akses Facebook diblokir, berbagai akun pro-kudeta sudah muncul. Akun-akun itu, dua hari sebelum kudeta, mendesak militer Myanmar mengambil alih pemerintahan. Hal itu seakan-akan memberi legitimasi bahwa ada desakan dari masyarakat.
Facebook sempat menutup puluhan akun lagi sebelum diblokir. Dalam akun-akun yang ditutup, isinya berupa post-post terkoordinir yang mengkritik Penasehat Negara Aung San Suu Kyi, jurnalis, dan aktivis. Menteri Informasi yang diangkat militer, Chit Hlaing, bahkan termasuk yang akunnya diblokir.
"Facebook menghapus misinformasi yang mencoba mendelegitimasi hasil pemilu November 2020," ujar Direktur Facebook Asia Tenggara, Rafael Frankel. Seperti diketahui, Militer Myanmar menganggap hasil pemilu tahun lalu tak sah.
Apabila mengacu pada edaran yang beredar kemarin, Facebook hanya akan ditutup sementara waktu. Kementerian Komunikasi dan Informasi Myanmar berencana membuka kembali akses Facebook, dan aplikasi lain yang berada di bawah benderanya, pada 7 Februari nanti. Kementerian beralasan, Facebook telah digunakan untuk menyebar berita bohong dan misinformasi yang mengganggu stabilitas Myanmar.
Sementara Facebook diblokir, termasuk Whatsapp, warga Myanmar mencari cara alternatif. Khine, salah satu warga lokal Myanmar, berkata kepada Tempo bahwa pemblokiran Facebook bisa diakali dengan VPN. Untuk Whatsapp, dirinya beralih ke aplikasi Signal untuk sementara waktu.
"Namun, pemblokiran Facebook itu sama saja memblokir internet," ujar advokat hak asasi manusia, Rafael Frankel.
Baca juga: Kudeta Myanmar Untuk Ambisi Jenderal
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA