TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis HAM waswas Irak akan memberikan lampu hijau untuk melakukan eksekusi hukuman mati kepada para militan yang ditahan negara itu. Pelaksanaan hukuman mati ini diduga untuk memamerkan kekuatan Irak setelah sebuah serangan teror mematikan di Ibu Kota Bagdad.
Sebelumnya pada Minggu, 24 Januari 2021, sumber di Kepresidenan Irak mengatakan kepada AFP ada lebih dari 340 perintah eksekusi mati bagi pelaku terorisme atau tindakan kriminal lainnya yang siap dilakukan.
“Kami masih akan menandatangani lebih banyak lagi (perintah eksekusi mati),” kata sumber tersebut, yang tidak mau dipublikasi identitasnya.
Baca juga: Jumlah Hukuman Mati di Indonesia Meningkat Hampir Dua Kali Lipat
Ilustrasi hukuman mati. ohrh.law.ox.ac.uk
Perintah eksekusi mati tersebut dibuka ke publik setelah dua serangan bom bunuh diri yang diklaim dilakukan kelompok radikal Islamic State atau ISIS pada Kamis, 21 Januari 2021 yang menewaskan setidaknya 32 orang. Serangan teror itu dilakukan di sebuah pasar di Ibu Kota Bagdad, yang sedang ramai.
Serangan teror tersebut menjadi pengingat bahwa ancaman yang dilakukan oleh militan garis keras masih ada, kendati Pemerintah Irak mendeklarasikan kemenangan melawan kelompok – kelompok radikal di sana pada akhir 2017,
Sumber tersebut belum bisa memberikan informasi kapan eksekusi mati akan dilaksanakan atau adakah militan kewarganegaraan asing, yang masuk dalam daftar eksekusi mati itu dan menjadi anggota ISIS.
Belkis Wille, peneliti senior bidang konflik dari organisasi Human Right Watch memperingatkan eksekusi mati tersebut diduga digunakan dengan motif politik.
“Para pemimpin menggunakan pengumuman eksekusi massal secara sederhana untuk memberikan sinyalemen kepada masyarakat kalau mereka menangani masalah ini dengan serius. Hukuman mati digunakan sebagai sebuah alat politik melebihi apapun,” kata Wille, Minggu, 24 Januari 2021.
Dalam sebuah undang-undang tahun 2005, hukuman mati dijatuhkan pada siapa pun, yang terlibat dalam terorisme. Itu termasuk mereka yang menjadi anggota sebuah kelompok ekstrimis meskipun mereka tidak terbukti secara spesifik melakukan tindakan apa.
Pada pertengahan 2018, Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi ketika itu mengumumkan ada 13 orang yang menjalani hukuman mati di bawah undang-undang anti-terorisme. Untuk pertama kali pula, al-Abadi membolehkan otoritas mempublikasi wajah terdakwa yang dihukum gantung.
Sumber: https://www.arabnews.com/node/1797941/middle-east