TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, meminta negara-negara kaya untuk berhenti menguasai suplai vaksin COVID-19. Sebab, kata ia, masih banyak negara-negara miskin yang belum mendapat kepastian suplai vaksin COVID-19 hingga sekarang.
"Tidak boleh ada negara yang diperlakukan berbeda atau mengambil jalan pintas untuk menguasai suplai vaksin sementara negara lainnya tidak kebagian...Negara-negara kaya menguasai mayoritas suplai," ujar Ghebreyesus, dikutip dari kantor berita Reuters, Sabtu, 9 Januari 2021.
Untuk suplai vaksin COVID-19 yang sudah kadung dibeli, Ghebreyesus meminta negara yang memiliki dosis berlebih untuk mengalihkannya ke negara lain. Hal itu, kata ia, bisa dilakukan lewat fasilitas milik COVAX. COVAX adalah inisiatif WHO untuk memastikan negara miskin mendapat cukup suplai vaksin COVID-19.
Sejauh ini, COVAX sudah mengumpulkan US$6 miliar dari US$7 miliar yang dibutuhkan untuk mengadakan vaksin COVID-19 bagi 92 negara berkembang. Namun, seperti yang sudah disampaikan, problem yang dihadapi sekarang adalah memastikan ada suplai vaksin yang bisa dibeli.
Negara-negara kaya atau blok yang diketahui sudah menguasai suplai vaksin dalam jumlah besar adalah Inggris, Amerika, Swiss, Israel, dan Uni Eropa. Uni Eropa, misalnya, baru saja mengabarkan telah mengamankan separuh dari total suplai vaksin COVID-19 yang bisa disediakan Pfizer untuk dunia.
Karena Pfizer mengklaim bisa memproduksi 1,2 miliar dosis, maka Uni Eropa sudah mengamankan 600 juta dosis. Dan, Uni Eropa mensinyalkan belum akan berhenti mengamankan suplai vaksin untuk 450 juta warganya. Mereka mengincar vaksin dari pengembang lain seperti Moderna dan AstraZeneca.
"Ini problem nyata," ujar Ghebreyesus yang tidak mau menuding negara manapun secara spesifik.
Per berita ini ditulis, di dunia tercatat ada 88 juta kasus dan 1,9 juta kematian akibat COVID-19. Dalam 24 jam terakhir, jumlah kasus bertambah 146 ribu. Beberapa di antaranya akibat varian baru COVID-19.
ISTMAN MP | REUTERS