TEMPO.CO, Jakarta - Calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden, dan wakilnya Kamala Harris, memenangkan Pilpres Amerika 3 November dari calon petahana Partai Republik, Donald Trump, dan wakilnya Mike Pence. Oleh sebagian besar warga Amerika, kemenangan Biden dan Harris adalah salah satu kemenangan terbesar di masa pandemi COVID-19 yang membuatnya cocok masuk ke Kaleidoskop 2020.
Media massa Amerika Serikat memastikan Joe Biden menang di Pensnsylvania, sepekan setelah pemungutan suara 3 November. Dengan 20 suara elektorat di Pennsylvania, Biden saat itu mengantongi 273 suara elektorat. Sementara Donald Trump baru mengumpulkan 214 suara elektorat, CNN melaporkan pada 7 November. Kandidat cukup membutuhkan 270 suara elektorat untuk menjadi Presiden Amerika.
Pertarungan tidak kemudian usai. Tim kampanye Donald Trump melayangkan gugatan ke masing-masing negara bagian medan pertempuran utama, seperti Pennsylvania, Michigan, Georgia, dan Nevada. Mereka menuduh ada kecurangan yang masif dan sistematis selama Pilpres Amerika.
Seperti gaya khas Donald Trump selama ini, tuduhannya tak lebih dari sekedar klaim. Ia dan tim suksesnya selalu gagal menampilkan bukti kecurangan. Alhasil, Badan Layanan Umum Amerika, yang mengurus pergantian administrasi pemerintahan, menjadi berani mengakui kemenangan Joe Biden. Badan tersebut, sebelumnya, enggan memberikan akses transisi kepada tim Joe Biden dan Kamala Harris karena Donald Trump membawa hasil Pilpres Amerika ke meja hijau.
Donald Trump sempat menyatakan akan kooperatif dengan proses transisi yang diizinkan Badan Layanan Umum Amerika. Ia bahkan berjanji akan mengkoordinir perangkat pemerintahannya untuk itu. Nyatanya, ia tetap lanjut dengan proses hukumnya. Tak lama kemudian, pukulan telak ia dapat ketika Jaksa Agung Amerika, William Barr, menyatakan tidak menemukan bukti kecurangan di Pilpres Amerika.
Baca Juga:
"Hingga hari ini kami belum menemukan kecurangan yang mampu mempengaruhi hasil dari Pilpres Amerika," ujar William Barr, dikutip dari kantor berita Reuters, Rabu, 2 Desember 2020.
Pernyataan William Barr itu mengejutkan. Oleh banyak orang, terutama dari kubu oposisi, ia dipandang sebagai loyalis Donald Trump. Ia bahkan membantu Donald Trump ketika ia meminta para jaksa di bawahnya untuk mengusut dugaan kecurangan di Pilpres Amerika. Dengan instruksi itu berarti Barr melangkahi divisi yang berwenang menangani segala tindak pidana pemilu. Pejabat divisi terkait sampai dibuatnya mundur karena kesal dengan langkah Barr.
Pada 15 Desember lalu, William Barr kembali membuat kabar mengejutkan bahwa ia akan mundur tak lama setelah Electoral College mengkonfirmasi kekalahan Donald Trump dari Joe Biden. Oleh beberapa orang dekat Donald Trump, mundurnya Barr malah bukan hal mengejutkan karena Trump sendiri memang berniat memecatnya.
Presiden AS Donald Trump meletakkan karangan bunga di Makam Prajurit Tidak Dikenal saat ia menghadiri perayaan Hari Veteran di Pemakaman Nasional Arlington di Arlington, Virginia, AS, Rabu, 11 November 2020. Ini merupakan penampilan perdana Trump di muka umum setelah dinyatakan kalah dari Joe Biden dalam Pemilihan Pilpres Amerika. REUTERS/Carlos Barria
Electoral College atau Dewan Elektorat mengukuhkan Joe Biden menang dengan 306 suara berbanding 232 yang diperoleh Donald Trump pada 14 Desember, sehari sebelum Barr menyatakan akan mundur. Pengukuhan Dewan Elektorat meresmikan kemenangan Joe Biden.
Bagaimana dengan Donald Trump? Ia semakin menggencarkan retorika menolak hasil pemilu AS. Sikap Donald Trump yang menolak mengakui kekalahan dianggap politisi dan pakar berpotensi membuat transisi pemerintahan ke Joe Biden terganggu. Penolakan Trump juga semakin meningkatkan risiko polarisasi, terlebih dalam situasi pandemi dan protes nasional menuntut keadilan rasial terhadap orang kulit hitam Amerika.
Terlepas gangguan yang ia berikan, setidaknya tak sulit untuk mengusir Donald Trump dari Gedung Putih. Saat Joe Biden dilantik Januari nanti, US Secret Service akan memastikan Donald Trump tidak ada di Gedung Putih lagi. Alasannya, pengawal presiden berada di bawah arahan presiden baru saat hari pelantikan, kata Jonathan Turley, seorang profesor hukum konstitusi di Universitas George Washington, dikutip dari CBS News.
Sebelum Hari Pelantikan, pada 6 Januari 2021, DPR dan Senat akan menggelar sidang gabungan untuk menghitung suara elektorat. Jika salah satu kandidat telah menerima 270 atau lebih suara elektorat, Presiden Senat Mike Pence akan mengumumkan hasilnya. Joe Biden, seperti sudah dinyatakan berkali-kali, memenangkan cukup banyak negara bagian untuk mendapatkan lebih dari 270 suara elektorat.
Ketua Mayoritas DPR Whip James Clyburn, yang memimpin komite pelantikan untuk Presiden terpilih Joe Biden, mengatakan pada 9 Desember bahwa sebagian besar acara pelantikan 20 Januari akan berlangsung secara virtual karena pandemi COVID-19 atau virus corona. Donald Trump tidak akan menghadiri sumpah jabatan itu dan dikabarkan akan mengumumkan maju kembali untuk Pilpres Amerika 2024 di hari yang sama. Sampai titik terakhir, Trump tampil belum legowo.
Sumber:
https://edition.cnn.com/politics/live-news/electoral-college-vote-2020-biden-trump/h_c5dbff01be79d2b4ba0a89fd432e08bf
https://www.reuters.com/article/us-usa-election-legal-challenges-factbox-idUSKBN28317I
https://abc7.com/politics/what-happens-between-now-and-inauguration-day/7871286/
https://www.nbcnews.com/politics/congress/clyburn-says-biden-s-inauguration-events-will-be-80-percent-n1250395