TEMPO.CO, Jakarta - Pada Selasa sore yang tenang, 4 Agustus 2020, dunia dikejutkan dengan ledakan di Beirut yang menghancurkan separuh lebih ibu kota Lebanon. Setengah Beirut hancur dan menewaskan 200 orang lebih, melukai 6.000 orang, serta mengakibatkan 300.000 orang kehilangan tempat tinggal, menurut laporan Reuters.
Ledakan itu berasal dari 2.750 ton amonium nitrat, bahan kimia untuk bahan baku pupuk dan peledak, yang disimpan tanpa prosedur keamanan yang memadai di gudang pelabuhan Beirut. Amonium nitrat adalah zat kimia yang mudah terbakar dan belum jelas bagaimana amonium nitrat itu bisa meledak.
Tetapi laporan CNN pada 6 Agustus menyebut ribuan ton amonium nitrat tiba di Lebanon pada 2013 ketika kapal Rusia MV Rhosus hendak menuju ke Mozambik dari pelabuhan di Batumi, Georgia.
Kapten kapal Boris Prokoshev menggunakan bendera Moldova singgah di Yunani untuk mengisi bahan bakar. Pemilik kapal mengatakan kepada kru kapal berkewarganegaraan Rusia dan Ukraina bahwa dia kehabisan uang, sehingga mereka perlu mengambil kargo tambahan untuk membiaya perjalanan mereka, yang akhirnya membawa kapal singgah di Beirut.
Pemilik kapal sebuah perusahaan bernama Teto Shipping. Pemilik perusahaan itu seorang Rusia bernama Igor Grechushkin yang tinggal di Siprus.
Setibanya di Beirut, otoritas pelabuhan menahan MV Rhosus karena pelanggaran berat dalam mengoperasikan kapal. Kapal ini tidak membayar biaya wajib yang ditagih oleh pelabuhan Beirut. Akhirnya, kapal beserta kargo 2.750 ton amonium nitrat disita di pelabuhan Beirut.
Asap mengepul ke langit di atas kota setelah ledakan bom mobil di dekat hotel St George, Beirut, Lebanon, 14 Februari 2005. Meski ledakan maut yang terjadi pada 4 Agustus 2020 bukan diakibatkan oleh bom, namun peristiwa tersebut mengingatkan dunia dan masyarakat akan rangkaian teror yang pernah terjdi di masa lalu. REUTERS/Alexander Jenniches
Bea Cukai Lebanon pada tahun 2017 membawa masalah amonium nitrat yang teronggok di dalam kapal Rusia itu ke pengadilan. Bea Cukai meminta izin agar amonium nitrat dipindahkan dari kapal MV Rhosus ke hangar Bea Cukai di pelabuhan Beirut. Bahkan, Bea Cukai menawarkan amonium nitrat itu dijual ke militer Lebanon.
Bea Cukai yang sudah melayangkan enam surat ke pengadilan tidak mendapat tanggapan apapun.
Sejak 2013 pemerintah Lebanon tahu ada ribuan material berbahaya tetapi tidak mengambil tindakan apapun.
Lebanon saat itu sedang menderita krisis ekonomi dan pandemi yang membuat warganya semakin tercekik. Mata uang Lebanon pada saat itu sudah mulai terjun bebas dan kehilangan 80 persen nilainya terhadap dolar AS, menurut Euronews, mengutip data Bank Dunia.
Pendemo melempar batu selama protes ketika mereka mencoba menerobos penghalang untuk mencapai gedung parlemen setelah ledakan hari Selasa, di Beirut, Lebanon 8 Agustus 2020. [REUTERS / Thaier Al-Sudani]
Guncangan mata uang dipicu oleh apa yang digambarkan sebagai skema Ponzi yang dilakukan negara. Untuk menjaga perekonomian tetap bertahan, selama bertahun-tahun bank sentral meminjam uang dari bank swasta. Untuk menarik lebih banyak uang, lembaga keuangan ini menawarkan suku bunga yang semakin tinggi kepada pemilik rekening: warga Lebanon dan diaspora.
Tetapi kekhawatiran atas sistem ini, korupsi politik dan penyusutan pengiriman uang dari diaspora, akhirnya membuat uang yang disadap ke bank sentral mengering, menghancurkan seluruh sistem.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan bahwa ekonomi Lebanon akan berkontraksi sebesar 12% tahun ini. Proyeksi ini jauh lebih buruk daripada rata-rata penurunan 4,7% dalam perkiraan produksi untuk Timur Tengah dan Asia Tengah, dikutip dari CNN.
Lebanon gagal membayar sebagian utangnya pada bulan Maret dan berupaya untuk mendapatkan pinjaman US$ 10 miliar (Rp 147 triliun) dari IMF, tetapi pembicaraan terhenti pada Juli.
Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab berbicara di istana pemerintah di Beirut, Lebanon, 10 Agustus 2020. [Tele Liban / Handout melalui REUTERS]
Ledakan di Beirut membongkar bagaimana pemerintahan, yang sudah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya, salah urus negara, yang semakin membakar semangat unjuk rasa.
Menghadapi protes pasca-ledakan, Perdana Menteri Hassan Diab mengundurkan diri pada 10 Agustus, bersama jajaran menterinya. Hassan Diab tetap menjadi pelaksana tugas perdana menteri sampai pemilihan umum digelar dan kabinet baru dibentuk.
Pada 11 Desember, kantor berita Lebanon National News Agency, melaporkan pelaksana tugas Perdana Menteri Hassan Diab bersama dua mantan menteri pekerjaan umum dan mantan menteri keuangan Lebanon didakwa karena lalai sehingga menyebabkan ledakan di Beirut.
Dakwaan telah diajukan terhadap Hassan Diab dan mantan menteri keuangan Ali Hassan Khalil, serta mantan menteri pekerjaan umum, Ghazi Zeiter dan Youssef Fenianos.
Zeiter adalah menteri transportasi dan pekerjaan umum pada tahun 2014, sedangkan Fenianos menjabat dari tahun 2016 hingga awal tahun 2020. Khalil menjabat sebagai menteri keuangan pada tahun 2014, 2016 dan sampai tahun ini.
Putusan ini adalah dakwaan yang dikenakan terhadap pejabat tinggi Lebanon dalam penyelidikan insiden tersebut.
Ledakan di Beirut terjadi ketika Lebanon sedang mengalami krisis ekonomi, jatuhnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan maraknya korupsi di antara pejabat Lebanon.
Sumber:
https://edition.cnn.com/2020/08/05/europe/lebanon-russian-ship-blast-intl/index.html
https://www.reuters.com/article/us-lebanon-security-blast-minster-idUSKCN2561T4
https://edition.cnn.com/2020/12/10/middleeast/lebanon-pm-indicted-beirut-explosion-intl/index.html
https://news.sky.com/story/beirut-explosion-lebanons-caretaker-pm-hassan-diab-and-three-former-ministers-charged-12156926