TEMPO.CO, Jakarta - Seorang janda Rohingya menuntut kompensasi US$ 2 juta (Rp 28,2 miliar) atas kematian suaminya yang dibunuh oleh tentara Myanmar selama penumpasan militer tahun 2017 di Myanmar barat.
Legal Action Worldwide (LAW) dan firma hukum internasional McDermott Will & Emery, mengatakan mereka mengajukan tuntutan pada Kamis, dengan komisi hak asasi manusia Myanmar atas nama Setara Begum, yang suaminya bernama Shoket Ullah terbunuh di desa Inn Din di negara bagian Rakhine.
Menurut laporan Reuters, 12 Desember 2020, gugatan ini adalah tuntutan pertama terkait Rohingya yang diajukan melalui komisi hak asasi manusia Myanmar, menurut LAW, sebuah organisasi nirlaba resmi yang berbasis di Jenewa.
Perwakilan dari komisi hak asasi manusia tidak dapat memberikan komentar dan juru bicara pemerintah Myanmar belum merespons permintaan komentar Reuters.
Sehelai baju terlihat di sebuah kuburan dangkal di Inn Din, Rakhine, Myanmar, 8 Desember 2017. Dua penggali kuburan yang dilaporkan Reuters mengatakan bahwa dua di antara 10 muslim Rohingya itu ditikam warga Buddha. Sisanya ditembak mati pasukan Myanmar. REUTERS
Suami Begum, Shoket Ullah, seorang nelayan berusia 35 tahun, termasuk di antara 10 pria dan anak laki-laki yang dibunuh oleh tentara dan penduduk desa dan dimakamkan di kuburan dangkal pada September 2017, menurut penyelidikan Reuters.
Tentara Myanmar mengatakan mereka menghukum tentara yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu dengan hukuman 10 tahun kerja paksa, tetapi mereka dibebaskan setelah kurang dari setahun.
"Suami saya terbunuh dan Myanmar telah membebaskan tentara yang melakukan itu," kata Begum.
"Saya mencari keadilan untuk suami saya dan untuk semua orang Rohingya, yang telah menghadapi banyak masalah serupa," kata perempuan berusia 23 tahun itu.
Ekspresi jurnalis Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo saat keluar dari gerbang penjara setelah dibebaskan, di Yangon, Myanmar, Selasa, 7 Mei 2019. Keduanya melenggang keluar dari penjara setelah Presiden Myanmar, Win Myint memberikan maaf pada ribuan tahanan dalam program amnesti massal. REUTERS/Ann Wang
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi mengatakan pada audiensi di Den Haag Desember lalu banyak orang Myanmar tidak senang dengan grasi terhadap tentara pelaku pembunuhan di Inn Din.
Jurnalis Reuters Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, yang mendokumentasikan pembunuhan tersebut dalam laporan investigasi, menghabiskan 16 bulan di penjara setelah dinyatakan bersalah karena mencuri rahasia negara. Mereka dibebaskan melalui amnesti pada Mei 2019.
730.000 lebih orang Rohingya diusir ke negara tetangga Bangladesh selama kampanye militer pada tahun 2017 yang menurut PBB merupakan aksi genosida.
Myanmar menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional di Den Haag dan Pengadilan Kriminal Internasional telah menyetujui penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Myanmar membantah genosida dan mengatakan pasukannya melakukan operasi keamanan yang legal terhadap militan yang menyerang pos polisi.
Aung San Suu Kyi mengatakan setiap pelanggaran dapat ditangani oleh sistem peradilan Myanmar dan pemerintahnya tahun lalu mengundang Rohingya untuk mengajukan pengaduan ke komisi hak asasi manusia.
Sumber:
https://uk.reuters.com/article/myanmar-rohingya/rohingya-widow-seeks-compensation-from-myanmar-government-idUKKBN28L268