TEMPO.CO, Jakarta - WHO tidak merekomendasikan negara-negara di dunia menerbitkan paspor imunitas bagi mereka yang sudah sembuh dari virus corona. Sebaliknya, WHO menantikan prospek penerbitan sertifikat e-vaksin seperti yang sedang dikembangkan dengan Estonia.
“Kami menunggu penggunaan teknologi dalam menghadapi Covid-19 ini. Salah satunya, bagaimana kita bisa bekerja sama dengan negara-negara untuk mewujudkan sebuah sertifikat e-vaksin,” kata Siddhartha Datta, Program Manajer WHO wilayah Eropa.
Seorang karyawan bekerja di laboratorium Pfizer tempat mereka melakukan penelitian dan pengembangan vaksin penyakit coronavirus (COVID-19) di Pearl River, New York, Amerika Serikat. Inggris menjadi negara pertama di dunia yang menyetujui vaksin COVID-19 yang oleh Pfizer dan mitranya dari Jerman, BioNTech. Pfizer/HO REUTERS
Estonia dan WHO sudah memulai pilot projek sertifikat e-vaksin pada Oktober 2020 lalu, yang bentuknya kecil berwarna kuning. Sertifikat e-vaksin ini digunakan untuk pelacakan data riwayat kesehatan si pemilik e-vaksin dan untuk memperkuat inisiatif COVAX yang didukung oleh WHO dalam meningkatkan vaksinasi di negara-negara berkembang.
Vaksinasi saat ini terus berkembang, khususnya sejak Inggris setuju memberikan kesempatan pada Pfizer dan BioNTech untuk mengembangkan vaksin virus corona. Sedangkan perusahaan farmasi lain seperti Modena dan AstraZeneca sudah melakukan tahap percobaan yang hasilnya bagus dan sekarang menunggu persetujuan.
Datta memperingatkan setiap inisiatif teknologi tidak boleh malah membuat negara-negara kewalahan dalam menghadapi pandemi virus corona. Teknologi tersebut juga harus mematuhi undang-undang dan tidak mengganggu layanan lalu-lintas di perbatasan. Sebagai contoh, beberapa aplikasi pelacakan Covid-19 tidak berfungsi ketika di bawa si pemiliknya ke luar negeri.
Pada awal 2020, Estonia secara terpisah sudah memulai sebuah uji coba paspor digital imunitas. Alat ini memungkinkan dilakukannya pelacakan jejak mereka yang sembuh dari Covid-19 dengan beberapa imunitas. Namun masih menjadi tanda tanya data apa saja yang akan dimasukkan dalam paspor imunitas itu dan berapa lama seseorang bisa terlindungi lewat teknologi ini.
Catherine Smallwood, staf senior di Layanan Darurat WHO untuk wilayah Eropa memiliki pandangan lain. Pada Kamis, 3 Desember 2020 dia menguatarakan pandangan bahwa tes antigen yang digunakan beberapa maskapai untuk melakukan tes virus corona pada penumpang sehingga menentukan apakah boleh terbang atau tidak mereka terbang, dirasa kurang pas untuk skala penerbangan internasional.
Tes antigen dirasa Smallwood kurang akurat ketimbang tes PCR molekular. Tes antigen masih memungkinkan orang bisa lolos dari pemeriksaan ini.
Sumber: https://www.asiaone.com/world/who-looks-possible-e-vaccination-certificates-travel