TEMPO.CO.Jakarta - Direktur Intelijen Nasional Amerika, John Ratcliffe, menyebut Cina sebagai ancaman demokrasi dan kemerdekaan terbesar yang pernah ada sejak Perang Dunia II. Hal itu, kata ia, mengacu pada data-data intelijen soal Cina selama ini.
"Data intelijennya jelas, Beijing (Cina) berniat untuk mendominasi Amerika dan negara-negara lainnya secara ekonomi, militer, dan teknologi," ujar Ratcliffe, dikutip dari kantor berita Reuters, Jumat, 4 Desember 2020.
Merespon data intelijen tersebut, Ratcliffe mengatakan bahwa dirinya sudah mengatur ulang anggaran intelijen Amerika. Dari total anggaran federal US$85 miliar, sebagian difokuskan untuk intelijen perihal Cina.
Ratcliffe menjelaskan, penyesuaian itu perlu dilakukan karena Cina semakin agresif dalam melakukan operasi intelijennya. Adapun pendekatan intelijen yang dipakai Cina, kata Ratcliffe, bisa dijelaskan dalam tiga kata yaitu Curi, Replikasi, dan Gantikan.
Maksud dari ketiga hal tersebut adalah intelijen Cina menekankan pada pencurian data-data penting serta properti intelektual. Ratcliffe berkata, hal-hal tersebut nantinya akan menjadi modal untuk membuat tiruannya di Cina dan merebut porsi Amerika di pasar global.
Juru bicara Keduataan Besar Cina di Amerika membantah pernyataan Ratcliffe. Mereka menganggap pernyataan Ratcliffe sebagai kebohongan dan bukti bahwa Amerika masih terjebak dalam pola pikir Perang Dingin.
Kapal tempur USS Ronald Reagan dan kapal pertahanan Jepang JS Izumo, sedang beroperasi di Laut Cina Selatan. Sumber: JMSDF/US Navy/Handout via Reuters/aljazeera.com
Di Cina, media yang dimiliki pemerintah menyatakan bahwa hubungan antara Amerika dan Cina berpotensi rusak secara permanen. Hal itu disebabkan kebijakan-kebijakan inkumben Presiden Donald Trump selama ini, mulai dari konflik terbuka, sanksi, hingga ikut campur dalam urusan internal Cina.
"Meskipun administrasi yang baru nanti memiliki niat untuk meredam tensi yang kadung terjadi dan terus berlanjut, beberapa kerusakan yang dibuatnya sudah sulit untuk diperbaiki. Hal itu yang diinginkan presiden saat ini," ujar editorial China Daily.
Sebagaimana diketahui, hubungan Cina dan Amerika memang tidak harmonis beberapa bulan terakhir. Hal itu tidak terbatas pada masalah pandemi COVID-19 saja, tetapi berbagai hal mulai dari soal kedaulatan Hong Kong, kedaulatan Taiwan, Laut Cina Selatan, Jaringan 5G, aplikasi TikTok, bisnis, dan masih banyak lagi.
Soal jaringan 5G, misalnya, Amerika giat membujuk berbagai negara sekutunya untuk tidak memakai jaringan 5G yang dibuat Huawaei. Dalih Amerika, semua data penting yang melalui jaringan Huawei akan diserahkan ke Partai Komunis Cina yang bisa mengancam keamanan nasional. Hal itu berujung pada sejumlah negara meninjau kembali kerjasamanya dengan Huawei termasuk Inggris.
Contoh lain, Donald Trump dikabarkan akan menandatangani undang-undang yang dapat mencegah beberapa perusahaan Cina mencatatkan saham mereka di bursa AS. Namun, jika Cina mematuhi standar audit Amerika, maka mereka akan dikecualikan dari larangan itu.
RUU tersebut berjudul "The Holding Foreign Companies Accountable Act". Fokus utamanya melarang sekuritas perusahaan asing terdaftar di bursa Amerika mana pun jika mereka gagal mematuhi audit Badan Pengawas Akuntan Publik Amerika selama tiga tahun berturut-turut.
ISTMAN MP | REUTERS