TEMPO.CO, Jakarta - Ilmuwan nuklir asal Iran, Mohsen Fakhrizadeh, tewas dibunuh di Tehran. Ia ditembaki ketika tengah berkendara. Siapa yang menjadi dalangnya belum diketahui hingga sekarang.
"Sayangnya, tim medis gagal menyelamatkan Mohsen Fakhrizadeh. Dia pantas disebut martir atas kerja keras dan jasanya selama ini," ujar Militer Iran dalam keterangan persnya, dikutip dari kantor berita Reuters, Jumat, 27 November 2020.
Pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh tak ayal menimbulkan kecurigaan bahwa ia dibunuh atas perannya di program nuklir Iran. Selama ini, Mohsen Fakhrizadeh dideskripsikan negara-negara barat dan Israel sebagai otak dari porgram nuklir Iran.
Program yang ia pimpin diberhentikan pada tahun 2003 lalu. Namun, oleh banyak pihak, ia diyakini masih memimpin program-program nuklir Iran lainnya secara diam-diam.
Iran sendiri, pada tahun 2015 lalu, meneken kespakatan nuklir dengan enam negara yang disebut sebagai JCPOA. Keenam negara itu adalah Amerika, Cina, Rusia, Jerman, Prancis, dan Inggris. Mereka tidak ingin program pengayaan nuklir Iran sampai di luar kendali hingga nantinya menjadi ancaman terhadap stabilitas regional di Timur Tengah.
Timbal balik untuk Iran, jika mengikuti kesepakatan JCPOA, adalah dihentikannya embargo perdagangan senjata oleh DK PBB. Pada Oktober kemarin, embargo tersebut berakhir. Namun, sejumlah inspeksi yang dilakukan utusan PBB menunjukkan bahwa Iran diam-diam kembali memulai program pengayaan nuklirnya. Iran membantah hal tersebut untuk kepentingan persenjataan.
Belum diketahui apakah Mohsen Fakhrizadeh berkaitan langsung dengan program pengayaan nuklir yang tengah berlangsung.
ISTMAN MP | REUTERS