TEMPO.CO, Jakarta - Berkali-kali gagal tidak membuat Armenia dan Azerbaijan berhenti bernegosiasi soal kemungkinan gencatan senjata dan damai di Nagorno-Karabakh. Dilaporkan kantor berita Reuters, Jumat, 30 Oktober 2020, keduanya kembali bertemu di Jenewa dengan masing-masing negara diwakili menteri luar negerinya.
Dalam pertemuan tersebut, utusan dari Prancis, Rusia, dan Amerika turut hadir. Mereka mewakili OSCE Minsk Group yang dibentuk untuk memediasi konflik di Nagorno-Karabakh di mana sudah memakan ribuan korban.
Total, termasuk menghitung pertemuan terbaru, sudah empat kali negosiasi gencatan senjata antara Armenia dan Azerbaijan digelar. Semua negosiasi sebelumnya berujung pada keputusan gencatan senjata. Sayangnya, setiap kali gencatan senjata itu hendak diberlakukan, pelaksanaannya selalu bubar dalam hitungan jam atau bahkan menit.
Bubarnya gencatan senjata sebelum-sebelumnya selalui diawali klaim dari salah satu pihak. Antara Armenia atau Azerbaijan, mereka selaku mengklaim lawan mereka lebih dulu menyerang. Tidak terima, negara yang diserang selalu membalas dan itu membuat gencatan senjata tak pernah benar-benar terealisasi.
Negara-negara anggota OSCE Minsk Group khawatir konflik di Nagorno-Karabakh akan meluas apabila tidak segera dihentika. Harapan mereka, jangan sampai Turki (sekutu Azerbaijan) ataupun Rusia (sekutu Armenia) sampai ikut berperang di Kaukasus Selatan itu.
Per berita ini ditulis, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev mengklaim pasukannya sudah menduduki sembilan permukiman di Nagorno-Karabakh. Semuanya berada di bagian selatan, berdekatan dengan Iran. Mereka menolak skema apapun selain Armenia keluar dari Nagorno-Karabakh.
Secara hukum internasional, Nagorno-Karabakh memang merupakan bagian dari Azerbaijan. Namun, ketika Uni Soviet pecah, Nagorno-Karabakh memisahkan diri dan merapat ke Armenia. Hal itu membuat Nagorno-Karabakh memiliki pemerintahannya sendiri sembari dihuni suku Armenia.
ISTMAN MP | REUTERS