TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan warga Thailand kembali berunjuk rasa menuntut pengunduran diri Perdana Menteri, Prayuth Chan-o-cha, pada Ahad, 25 Oktober 2020.
Ini merupakan demonstrasi pertama sejak Prayuth mengabaikan tenggat yang disampaikan demonstran agar mengundurkan diri pada Sabtu malam pekan lalu.
“Jika dia tidak mundur, maka kita harus ke luar dan memintanya untuk mundur dengan cara damai,” kata Jatupat “Pai” Boonpattararaksa, yang merupakan salah satu pemimpin aksi demonstrasi, seperti dilansir Channel News Asia pada Ahad, 25 Oktober 2020.
Seorang demonstran Thailand, Nuch, 43 tahun, mengatakan Prayuth sebaiknya berpikir sebagai seorang warga negara.
“Saya ingin Prayuth berpikir sebagai warga negara dari pada sebagai Perdana Menteri,” kata Nuch. “Ekonomi sangat buruk saat ini. Karena dia tidak bisa menyelesaikan masalah ini, dia sebaiknya mundur dan membiarkan orang lain menyelesaikannya.”
Kantor PM Thailand mengeluarkan pernyataan di Twitter dengan menyatakan dia tidak mundur. Prayuth sebelumnya mengatakan ingin menyelesaikan masalah ini di parlemen, yang mayoritas kursinya dikuasai para pendukung, pada Senin dan Selasa ini.
Tidak terlihat kehadiran polisi di sekitar lokasi aksi demonstrasi di perempatan Ratchaprasong. Ini merupakan lokasi bersejarah yang menjadi tempat pertumpahan darah pada 2010 saat petugas keamanan mencoba memberangus protes anti-pemerintah.
Seorang juru bicara pemerintah mengatakan tidak akan menggunakan kekuatan dan menyerukan masyarakat agar tetap damai dan menghormati hukum.
Demonstrasi yang telah berlangsung selama tiga bulan ini bertujuan meminta PM Prayuth Chan-o-cha mundur. Dia dituding sengaja merombak konstitusi untuk memuluskannya berkuasa sebagai PM pada pemilu tahun lalu setelah menjadi penguasa junta militer sejak 2014 lewat kudeta.
Demonstrasi ini juga meminta penyusunan konstitusi baru dan pembatasan kekuasaan raja dalam kegiatan politik di Thailand.
Sumber