TEMPO.CO, Jakarta - Kritikus anti-pemerintah Rusia, Alexei Navalny, berkeyakinan dirinya diracun dengan Novichok bukan tanpa alasan. Dikutip dari kantor berita Reuters, ia menduga dirinya diracun karena dianggap akan menjadi ancaman dalam pemilu legislatif Rusia tahun depan.
"Mereka tahu bahwa ada masalah, masalah besar yang bisa mengancam mereka menjelang pemilu legislatif," ujar Alexei Navalny, Selasa, 6 Oktober 2020.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Alexei Navalny adalah aktivis yang vokal menentang rezim pemerintahan Vladimir Putin. Dalam berbagai kesempatan, ia mencoba membongkar penyalahgunaan wewenang atau praktik korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah dan berkaitan dengan kepentingan publik.
Salah satu kasus yang sempat ia coba usut adalah dugaan monopoli katering untuk sekolah oleh katering Moskovsky Shkolnik. Katering tersebut adalah anak usaha Konkord, perusahaan milik Yevgeny Prigozhin, koki sekaligus orang dekat Vladimir Putin.
Moskovsky Shkolnik memperkarakan Alexei Navalny ke persidangan karena investigasinya. Hasilnya, Alexei Navalny dan koleganya diminta membayar denda senilai US$1,2 juta atas tuduhan pencemaran nama baik.
Alexei Navalny melanjutkan bahwa dirinya belum akan kembali ke Rusia dalam waktu dekat. Bukan karena takut akan Vladimir Putin, tetapi lebih karena dia masih harus menjalani perawatan dan terapi fisik di Berlin, Jerman. Paling cepat, kata ia, dirinya akan tetap berada di Jerman untuk dua bulan lagi.
Perihal kejadian dirinya diracun dengan Novichok, Alexei Navalny mengaku belum tahu bagaimana virus syaraf itu masuk ke tubuhnya. Ia menduga dirinya diracun di hotel Tomsk, Siberia lewat benda yang ia sentuh. Walau begitu, ia tetap yakin Vladimir Putin lah yang memerintahkan pembunuhannya karena Novichok hanya bisa diakses oleh agen Rusia.
Hingga berita ini ditulis, Rusia membantah terlibat upaya pembunuhan Alexei Navalny. Mereka mengklaim telah menginvestigasi perkaranya dan telah meminta Lembaga Pengawas Senjata Kimiawi (OPCW) untuk menjelaskan virus di tubuh Navalny.
ISTMAN MP | REUTERS