TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Sudan dan sejumlah kelompok pemberontak pada hari Sabtu, 3 Oktober 2020 meresmikan perjanjian damai untuk menyelesaikan konflik selama puluhan tahun. Konflik di Sudan telah menewaskan ratusan ribu orang dan jutaan orang terlantar.
Tiga kelompok besar menandatangani kesepakatan damai pada awal Agustus lalu. Ketiga kelompok itu meliputi dua faksi dari wilayah barat Darfur dan satunya lagi dari wilayah selatan. Selama berbulan-bulan dilakukan pembicaraan untuk kesepakatan damai dengan Sudan Selatan sebagai tuan rumah.
Sedangkan kelompok pemberontak berkuasa lainnya, Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan di Utara yang dipimpin Abdelaziz al-Hilu, yang tidak ikut serta dalam negosiasi damai, setuju pada bulan lalu untuk bergabung dalam pembicaraan baru yang diadakan oleh Sudan Selatan.
"Pencapaian bersejarah ini mengatasi konflik dan penderitaan selama beberapa dekade, juga akan membutuhkan komitmen teguh untuk melaksanakan perjanjian secara penuh dan tanpa menunda," kata Donald Booth, utusan khusus Amerika Serikat untuk Sudan dan Sudan Selatan seperti dikutip dari Reuters, 5 Oktober 2020.
Sudah selama beberapa dekade dilanda konflik. Setelah wilayah selatan yang kaya minyak memisahkan diri pada 2011, unjuk rasa dipicu krisis ekonomi telah menggulingkan presiden Omar Hassan al-Bashir tahun 2019.
Pemerintahan baru Sudan yang dijalankan militer dan sipil, menjadikan penyelesaian konflik sebagai prioritas utama.
Kesepakatan damai ini telah mengintegrasikan pemberontak ke dalam pasukan keamanan, memiliki keterwakilan politik dan hak atas ekonomi dan lahan.
Pendanaan baru senilai US$ 750 juta setahun untuk selama 10 tahun dibagikan ke wilayah selatan dan barat yang miskin di Sudan, dan peluang memberikan jaminan bagi para pengungsi untuk kembali ke rumah mereka.