TEMPO.CO, Jakarta - Tagar Twitter #RepublicofThailand trending di Thailand setelah parlemen memilih untuk menunda reformasi konstitusi selama dua bulan. Padahal, warga Thailand sudah mendesak agar reformasi dilaksanakan sesegera mungkin.
Juru bicara Pemerintah Thailand, Anucha Burapachaisri, mengatakan belum melihat tagar tersebut dan menolak mengomentarinya. Namun ia mengatakan bahwa Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mendengar semua pihak tentang masalah reformasi konstitusi.
“Ada yang mau amandemen konstitusi dan ada yang tidak,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari kantor berita Reuters, Jumat, 25 September 2020
Diberitakan sebelumnya, Parlemen Thailand, yang didominasi oleh pendukung pemerintah, menunda reformasi konstitusi semalam. Dalih yang mereka pakai adalah reformasi itu perlu dikaji lebih lanjut. Itulah alasan kenapa reformasi ditunda hingga bulan November.
Keputusan itu memanaskan amarah pengunjuk rasa dan anggota parlemen oposisi. Sudah dua bulan mereka berunjuk rasa harian, mendesak ada perubahan segera di Pemerintahan Thailand. Mereka menuduh bahwa parlemen hanya berusaha mengulur waktu.
Menurut warga, konstitusi di Thailand telah diatur sedemikian rupa untuk mempertahankan rezim yang ada. Hal itu dilihat dari Pemilu Thailand tahun lalu yang kembali dimenangkan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.
"Apakah kalian tidak mendengar desakan rakyat? Apakah tembok gedung parlemen begitu tebalnya?" teriak Anon Nampa, salah satu koordinator unjuk rasa.
Tuntutan warga, selain reformasi konstitusi, adalah pencopotan Prayuth Chan-ocha sebagai Perdana Menteri Thailand, pemilu ulang, dan pengurangan wewenang dari Raja Maha Vajiralongkorn. Tuntutan itu sendiri dipicu berbagai hal mulai dari ekonomi Thailand yang terpuruk hingga kurang maksimalnya pengendalian pandemi virus Corona.
Protes tersebut sedikit banyak melanggar tabu lama untuk tidak mengkritik sebuah lembaga dihormati seperti Kerajaan Thailand.
FERDINAND ANDRE | REUTERS