TEMPO.CO, Jakarta - Raja Hamad bin Isa Al Khalifa menegaskan tindakan Bahrain untuk menjalin hubungan dengan Israel bukan untuk memusuhi entitas atau kekuatan manapun.
Dia mengatakan hubungan itu untuk mewujudkan perdamaian yang komprehensif di Timur Tengah.
Raja Hamad, menegaskan kembali dukungan Bahrain untuk Palestina dan untuk inisiatif perdamaian Arab yang dibuat pada tahun 2002.
Inisiatif itu menawarkan hubungan normalisasi Israel dengan imbalan kesepakatan pembentukan negara Palestina serta penarikan penuh Israel dari wilayah yang dikuasai sejak Perang Timur Tengah pada 1967.
"Toleransi dan hidup berdampingan menunjukkan identitas Bahrain yang sebenarnya. Langkah kami menuju perdamaian dan kemakmuran tidak ditujukan kepada entitas atau kekuatan apapun, melainkan demi kepentingan semua orang dan bertujuan untuk bertetangga yang baik," kata Raja Hamad, dikutip oleh berita negara BNA dan dilansir Reuters pada Senin, 21 September 2020.
Bahrain dan Uni Emirat Arab atau UEA menjadi negara Arab pertama dalam seperempat abad yang menormalkan hubungan dengan Israel tetapi tanpa membahas penyelesaian sengketa Israel dengan palestina.
Kesepakatan itu menyerukan "hubungan diplomatik penuh" tetapi menghindari istilah normalisasi.
Protes di jalanan terjadi di berbagai tempat setelah Bahrain menandatangani kesepakatan dengan Israel awal bulan ini.
Bahrain adalah satu-satunya negara Teluk Arab yang menyaksikan pemberontakan pro-demokrasi yang cukup besar pada 2011. Pemberontakan itu kian diselesaikan dengan bantuan Saudi dan Emirat. Negara yang diperintah Sunni itu menuduh Muslim Syiah Iran mendukung subversi. Iran membantah tuduhan itu.
FERDINAND ANDRE | REUTERS