TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Belarus Alexander Lukashenko kemungkinan akan menyerahkan kemerdekaan negaranya dengan menandatangani sebuah kesepakatan memperdalam integritas dengan Rusia.
“Rusia akan dengan cepat menyelesaikan apa yang sudah mereka sodorkan selama 20 tahun dan ini sangat mengkhawatirkan,” kata Menteri Luar Negeri Lithuania, Linas Linkevicius, Senin, 7 September 2020, waktu setempat.
Menurut Linkevicius, proses integrasi dua negara bekas Uni Soviet itu sulit dihentikan. Presiden Lukashenko bahkan tidak memiliki pembenaran secara moral atau pun politik untuk melakukan itu.
Presiden Rusia, Vladimir Putin (kanan) dan Presiden Belarus, Alexander Lukashenko. Reuters
Linkevicius mengatakan hubungan yang dekat antara Minsk dan Moskow bisa membuat militer Rusia mendirikan pangkalan militernya di Belarus. Langkah seperti itu membutuhkan sebuah mandat dari masyarakat. Sebab jika tidak, bakal muncul banyak ketegangan.
Kisruh di Belarus di antaranya dipicu oleh sengketa pemilu. Presiden Lukashenko berkuasa di Belarus sejak 1994, dia menyangkal telah melakukan kecurangan pemilu pada 9 Agustus lalu.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, selama bertahun-tahun mendorong adanya kedekatan hubungan Rusia dan Belarus di bawah naungan negara bersatu. Gagasan ini dicetuskan kembali oleh Rusia pada bulan lalu.
Presiden Lukashenko sebelumnya sudah menolak keinginan itu dengan menyebut Rusia ingin menelan negaranya. Namun sekarang kondisi Belarus sudah berubah. Ada gelombang unjuk rasa dan ancaman dijatuhkannya sanksi oleh negara-negara Barat terkait pemilu presiden 9 Agustus lalu, yang disebut kubu oposisi sudah dicurangi.
Dalam gelombang unjuk rasa, Rusia berdiri membela Lukashenko. Lukashenko dijadwalkan melakukan kunjungan ke Moskow dalam beberapa hari ke depan untuk melakukan pembicaraan.