TEMPO.CO, Jakarta - Tim penyelamat menggali puing bangunan karena diduga masih ada korban selamat di balik reruntuhan setelah 30 hari ledakan di Beirut yang menghancurkan sebagian besar ibu kota Lebanon.
Tim penyelamat bekerja dengan lampu sorot dalam suhu musim panas yang lembab untuk memindahkan bagian-bagian dinding akibat ledakan dengan menggunakan derek.
Dikutip dari CNN, 4 September 2020, alat termal mendeteksi panas tubuh manusia di puing-puing pada Jumat. Sementara itu perangkat lain mendeteksi tujuh napas manusia, menurut anggota Live Love Beirut, sebuah organisasi non-pemerintah yang membantu upaya penyelamatan. Kelompok itu mengatakan tim penyelamat berada kurang dari 2 meter dari lokasi.
Tim penyelamat meminta sekitar 200 orang yang melihat evakuasi untuk diam, sehingga peralatan mereka dapat mendeteksi setiap napas atau detak jantung dari korban yang mungkin selamat.
"Pencarian itu dimulai oleh seekor anjing penyelamat yang melewati bangunan yang hancur bersama tim penyelamat Cile pada hari Kamis, 3 September 2020, dan menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan," kata Eddy Bitar, seorang pekerja organisasi non-pemerintah setempat.
"Alat termal kemudian mendeteksi dua tubuh manusia, satu tubuh berukuran kecil sedang meringkuk di samping tubuh yang lebih besar. Alat pendengar juga mencatat siklus pernapasan 18 per menit," kata Bitar
"Kecil kemungkinan orang tersebut masih hidup," katanya kepada Reuters.
Restoran Le Chef di Beirut yang rusak karena ledakan bahan kimia pada 4 Agustus 2020 lalu. Sumber: AP/english.alarabiya.net
Tim penyelamat menggali terowongan melalui puing-puing beton yang tebal untuk mencapai lokasi korban. Francisco Lermanda, seorang pekerja di LSM pencarian dan penyelamatan Cile, Topos Chile, mengatakan kemungkinan kecil peluang untuk menemukan seseorang yang masih hidup setelah berhari-hari di bawah reruntuhan, tetapi dia tidak mengesampingkan hal itu bisa terjadi.
Setelah beberapa jam menggali puing-puing, operasi dihentikan karena bangunan tersebut dianggap terlalu tidak aman. Alat berat diperlukan untuk membantu mengangkat puing-puing dengan aman, kata seorang petugas penyelamat, dan alat berat tidak dapat tiba sampai pagi hari.
"Ada banyak bahaya bagi tim," kata Michel el-Mur kepada Reuters. "Ada 10 di atas sana, dan kami tidak bisa mengambil risiko apa pun."
Ledakan di Beirut menghancurkan separuh ibu kota Lebanon pada 4 Agustus 2020 lalu, menewaskan 190 orang, melukai 6.000 lebih orang, dan menyebabkan 300.000 orang kehilangan rumah, menurut kantor berita Lebanon, NNA.
Ledakan dipicu oleh hampir 3.000 ton amonium nitrat yang disimpan di Pelabuhan Beirut selama enam tahun. Amonium nitrat adalah bahan yang sangat mudah menguap dan meledak yang digunakan dalam pupuk pertanian dan juga bahan peledak seperti dinamit. Ledakan di Beirut memicu protes besar di Lebanon, menuduh pemerintah tidak becus mengurus negara dan korupsi yang mengakar. Pada 10 Agustus pemerintahan Lebanon mundur setelah protes meluas berujung ricuh.
FARID NURHAKIM | REUTERS | CNN
Sumber:
https://edition.cnn.com/2020/09/04/middleeast/beirut-life-rubble-intl-hnk/index.html