TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan orang ambil bagian dalam peringatan pidato bersejarah Martin Luther King Jr, "I Have a Dream", yang disampaikan pada 1963 untuk memprotes rasisme terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat.
"Anda mungkin telah membunuh si pemimpi, tetapi Anda tidak dapat membunuh mimpinya," kata pemimpin hak sipil Pendeta Al Sharpton kepada kerumunan pada Jumat.
Aktivis dan politisi memberikan pidato, termasuk calon wakil presiden dari Partai Demokrat Kamala Harris, yang muncul melalui rekaman video.
Selain mengenang pidato Martin Luther King Jr, pembicara juga mengenang mendiang anggota DPR AS John Lewis, seorang pahlawan hak-hak sipil yang juga berpidato pada unjuk rasa 1963 dan meninggal pada Juli tahun ini.
Jaringan Aksi Nasional Sharpton, yang merencanakan acara tersebut, mengambil langkah-langkah untuk melindungi para demonstran dari pandemi virus corona.
Seorang pembicara mengarahkan peserta untuk berdiri dengan tangan terulur untuk memastikan ada jarak yang cukup di antara mereka. Staf membersihkan podium dan mikrofon di antara speaker.
Orang kulit hitam lebih mungkin jatuh sakit dan meninggal karena virus corona dan banyak yang kehilangan pekerjaan karena kejatuhan ekonomi, menurut statistik.
Meski demikian masih banyak orang yang tidak mengenakan masker.
Pembicara menekankan pentingnya pemungutan suara dalam pemilihan presiden pada November dan hubungan antara aktivisme untuk hak-hak sipil kulit hitam, hak-hak penyandang disabilitas, dan hak LGBT, serta melawan kekerasan senjata.
"Dalam banyak hal, kita berdiri bersama hari ini dalam bayangan simbolis sejarah, tetapi kita membuat sejarah bersama sekarang," kata Martin Luther King III, putra Martin Luther King Jr, dikutip dari Reuters, 29 Agustus 2020.
Massa memenuhi setengah kilometer lebih dari Lincoln Memorial ke Martin Luther King Memorial pada hari yang panas dan lembab di ibu kota AS. Aksi ini terjadi di tengah-tengah kerusuhan rasial yang diakhiri oleh dua insiden penembakan orang kulit hitam oleh polisi.
Protes atas penembakan pada Jacob Blake, pada Senin malam, 24 Agustus 2020 di Kenosha, Amerika Serikat. Sumber: Reuters
Protes nasional dimulai pada Mei, yang dipicu oleh pembunuhan George Floyd, seorang pria Afrika-Amerika yang meninggal setelah seorang petugas polisi Minneapolis menindih lehernya selama hampir sembilan menit.
Protes kedua terjadi pekan ini di Kenosha, Wisconsin, setelah petugas polisi menembak pria Afrika-Amerika lainnya, Jacob Blake, dari belakang sebanyak tujuh kali di depan anak-anaknya. Meskipun Blake selamat, pengacara mengatakan dia lumpuh permanen.
"Kami tidak akan menjadi budak kalian yang jinak. Kami tidak akan menjadi tumpuan penindasan," kata Letetra Widman, saudara perempuan Blake yang hadir saat unjuk rasa.
Saudara laki-laki George Floyd, Philonise Floyd, juga berbicara di atas panggung. "Saya berharap George ada di sini untuk melihat ini," katanya.
Allisa Findley, saudara perempuan Botham Jean, seorang pria Afrika-Amerika yang dibunuh di Dallas oleh seorang petugas polisi yang sedang tidak bertugas, mengatakan "Saya lelah menambahkan nama baru, menambahkan hashtag baru yang masuk daftar panjang korban teror polisi. Kita tidak bisa membiarkan saudara dan saudari kita hanya dikenang bagaimana mereka meninggal."
James Jarell, seorang pemilik bisnis dari Delaware, mengatakan demonstrasi menuntut keadilan orang kulit hitam baru-baru ini dari perusahaan dan atlet profesional tidak cukup. "Bagi orang-orang yang hidup dengan teror ditembak oleh polisi setiap hari, ini terlalu sedikit, sudah terlambat," katanya.
Bella Ridenoure dari Arlington, Virginia mengatakan Presiden Donald Trump seharusnya sadar tentang kecemasan orang-orang kulit hitam selama pidatonya pada Kamis yang menutup Konvensi Nasional Partai Republik.
"Seberapa menyakitkan Presiden Trump untuk mengakui rasisme Sebaliknya, dia bermain politik dan sekarang membuat kami terlihat seperti penjahat yang ingin membekukan polisi," kata pegawai pemerintah berusia 43 tahun itu